Ketika manusia dikuasai
setan dan hawa nafsu syahwat kemudian 2 insan yang dibuai asmara terlibat dalam
perbuatan keji dan haram yaitu zina hingga membuat kehamilan itu tentu adalah
aib yang besar bagi diri sendiri dan orang tua dan selain berdampak dosa besar
pula. Kemudian jika laki laki mau menanggap anak hasil perzinaan adalah anaknya
apakah itu hukumnya boleh atau haram?
Menurut kesepakatan
ulama status anak hasil zina diluar nikah adalah :
1. Anak itu tidak
berbapak.
2. Anak itu tidak bisa saling mewarisi dengan laki-laki (yang dianggap ayahnya) itu.
3. Bila anak itu perempuan dan ketika dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim. Karena tidak memiliki wali. Sedangkan laki-laki itu tidak berhak menjadi walinya.
2. Anak itu tidak bisa saling mewarisi dengan laki-laki (yang dianggap ayahnya) itu.
3. Bila anak itu perempuan dan ketika dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim. Karena tidak memiliki wali. Sedangkan laki-laki itu tidak berhak menjadi walinya.
Penjelasan :
Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) telah
sepakat. Anak hasil zina tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam arti
si anak itu tidak memiliki bapak. Meskipun si laki-laki yang menzinahinya,
menaburkan benih itu mengaku yang dikandung itu anaknya. Tetap pengakuan ini
tidak sah,. Karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Dalam hal ini
sama saja, baik si wanita yang dizinai itu bersuami ataupun tidak bersuami. Jadi
anak itu tidak berbapak. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحْجَر
Anak itu bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah
batu (kerugian dan penyesalan) (Hr Bukhari Muslim)
Firasy adalah tempat tidur. Maksudnya adalah si isteri yang pernah
digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya. Keduanya
dinamakan firasy. Karena si suami atau si tuan menggaulinya (tidur bersamanya).
Sedangkan makna hadits di atas, anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy.
Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya,
dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan. Dikatakan di dalam kitab
Al Mabsuth. Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka.
Dia mengakui, bahwa anak ini merupakan hasil zina. Si wanita pun membenarkannya,
maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya. Berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki
pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)
Tidak ada firasy bagi si pezina itu. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menegaskan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki
pezina Maksudnya ialah tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan
penafian (peniadaan) nasab itu merupakan hak Allah Azza wa Jalla semata. Ibnu
Abdil Barr berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Dan bagi
laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” Maka beliau menafikan
(meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam. Satu masalah lain. Yaitu bila wanita yang
dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra’ dengan satu kali haidl. Kemudian
digauli, hamil dan melahirkan anak. Atau dinikahi sewaktu hamil. Kemudian
setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari pernikahan
yang telah kita jelaskan dimuka (bahwa pernikahan itu tidak sah). Bagaimanakah
status anak yang baru terlahir itu ?Bila orang itu meyakini bahwa pernikahannya
itu sah, (baik) karena taqlid kepada seseorang (ulama) yang membolehkannya,
atau tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka anak yang
terlahir karena pernikahan seperti itu tidak dinasabkan kepadanya.
Sebagaimana
diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita dimasa ‘iddahnya. Apabila mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah,
atau karena tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa ‘iddahnya. Maka
anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepadanya, padahal pernikahan pada
masa ‘iddah itu batal (tidak sah) dengan ijma para ulama. Yang berarti
penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa. Beliau berkata, “Barangsiapa
menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahannya (sah), maka nasab
(anak) diikutkan kepadanya Dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah dengan
kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui. Meskipun pada hakikatnya pernikahan
itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya. Dan begitu juga setiap hubungan badan
yang dia yakini tidak haram, padahal sebenarnya haram (maka nasabnya tetap
diikutkan kepadanya).”
Kemudian jika anak hasil zina itu menikah maka laki laki yang
menzinai ibunya itu tak bias jadi wali nikah. Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda. Maka sulthan (Pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang
tidak memiliki wali.
Semisalkan kakak dari ibu, hakim, pengulu, ustadz dsb
Refrensi : aslibumiayu.net
FATWA MUI
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN: FATWA TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
Pertama: Ketentuan Umum
Di dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :- Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
- Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
- Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukuman).
- Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Kedua: Ketentuan Hukum
1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya
4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:
a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;
b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5
bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara
anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Ketiga: Rekomendasi
1. DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur:
a. hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya);
b. memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.
2. Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.
3. Pemerintah wajib melindungi anak
hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran, terutama dengan
memberikan hukuman kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
4. Pemerintah diminta untuk memberikan
kemudahan layanan akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak
menasabkannya kepada lelaki yang menngakibatkan kelahirannya.
5. Pemerintah wajib mengedukasi
masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan
memperlakukannya sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak hasil
zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan
keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.
Keempat: Ketentuan Penutup
- Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di ke mudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
- Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal:18 Rabi’ul Akhir1433 H
10 M a r e t 2012 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2012/03/22/18307/fatwa-mui-tentang-kedudukan-anak-zina-dan-perlakuan-terhadapnya/;#sthash.mcszkqsV.dpuf
menurut fatwa MUI yang panjang lebar kami singkat saja Di dalam fatwa ini yang dimaksud
dengan :
- Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
- Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
- Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukuman).
- Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Kedua: Ketentuan Hukum
1. Anak hasil zina tidak mempunyai
hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang
menyebabkan kelahirannya.
2. Anak hasil zina hanya
mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Anak hasil zina tidak menanggung
dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya
4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh
pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh
al-nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan
hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan
mewajibkannya untuk:
a. mencukupi kebutuhan hidup anak
tersebut;
b. memberikan harta setelah ia
meninggal melalui wasiat wajibah.
c.
Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk
menasahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan
kelahirannya.
Ketiga: Rekomendasi
1.
DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan
perundang-undangan yang mengatur:
a.
hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir
dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum
melakukan menjadi takut untuk melakukannya);
b.
memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan
kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.
2.
Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum
yang keras dan tegas.
3.
Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya
penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-laki yang
menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4.
Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte kelahiran kepada
anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang menngakibatkan
kelahirannya.
5.
Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil
zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak
hasil zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan
keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.
Keempat: Ketentuan
Penutup
- Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di ke mudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
- Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan
di: Jakarta
Pada tanggal:
18 Rabi’ul Akhir1433 H
10 M a r e t 2012 M
MAJELIS
ULAMA INDONESIA
KOMISI
FATWA
Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF,
MA
0 comments:
Post a Comment
Komentarnya sangat diharapkan, Terima kasih