Saturday 13 May 2017

Tafsir Al-Baqoroh Ayat 120, Orang Kafir Tidak Akan Pernah Senang Kepada Kita



SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 120

وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah senang kepadamu (Muhammad) hingga kamu mengikuti millah (pola hidup atau agama) mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan jika seandainya kamu benar-benar mengikuti hawa nafsu (kehendak) mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.


Penjelasan Ayat

Berikut ini adalah makna kandungan surat al-Baqoroh ayat 120
1). Upaya sejak dini memisahkan risalah dan pembawa risalah-nya terungkap jelas melalui ayat ini. Yaitu dengan cara memalingkan Rasul dari risalah yang dibawanya. Agen utama mereka ialah orang-orang Yahudi dan Nashrani. Pertama-tama mereka datang membujuk Rasul, tetapi karena gagal, mereka kemudian melakukannya dengan menyebarkan intrik dan indoktrinasi. Pertama-tama mereka menyebarkan berita yang diakuinya sebagai ajaran yang bersumber dari Kitab Suci mereka. “Dan mereka (kaum Yahudi) berkata: ‘Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.’ (2:80).

Tujuannya, menjustifikasi supremasi mereka terhadap Rasul dan pengikutnya tanpa harus meninggalkan kebiasan-kebiasaan lama mereka seperti ajaran baru Nabi Muhammad. Paling tidak, kalau umat Rasul sudah mau berpandangan bahwa “semua agam sama saja”, sudah cukuplah. Tidak perlu mereka pindah agama, cukup mengakui supremasi agama-agama lain. Lalu, mereka (yahudi dan Nashrani) sama-sama datang kepada Rasul dan berkata:“Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nashrani.” (2:111). Harapannya, Rasul ‘memakan’ pancingan mereka. Dan dengan begitu mereka memalingkan Rasul ke pihak mereka, bersekutu dengan mereka, menjalankan agenda-agenda mereka, membiarkan mereka mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan negara dan bangsanya, menggelontorkan investasi dengan cara membeli aset-aset yang berada di bawah kontrol Madinah; kendati—secara de-facto—Rasulullah tetap sebagai ‘Kepala Pemerintahan’ yang sah dan dipanuti oleh umat, bangsa, dan negaranya. Itu sebabnya,  di sini, Allah tidak menggunakan kata الدِّينِ (ad-dĭyn, aturan hidup), tapi kata مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir). Artinya Rasul tidak perlu mengganti الدِّينِ (ad-dĭyn, aturan hidup), gelar kerasulan, dan baju keagamaannya.

Mereka (Yahudi dan Nashrani) juga tidak perlu muncul ke permukaan. Mereka cukup berada di balik layar saja. Yang kelihatan memimpin tetap Rasul. Tetapi yang Rasul musti lakukan ialah melaksanakan rencana-rencana kerja mereka. Apakah Rasul termakan oleh muslihat seperti itu? Tidak. Karena Beliau adalah Khalifah Ilahi yang sah, yang dikontrol langsung oleh Allah sebagai Mursil-nya, yang tak pernah lagi berfikir tentang kepentingan pribadi dan dunianya, maka perangkap politik seperti itu tidak mempan baginya. “Dan betapa banyaknya negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu, yang (tekita) Kami membinasakan mereka, maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka. Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (syaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (47:13-14)

2). Anak kalimat لَن تَرْضَى عَنكَ [lan tardhā ‘anka, sekali-sekali tidak akan pernah redha kepadamu (Muhammad)] menarik untuk diselami. Tiga kata yang ada di anak kalimat ini masing-masing memiliki maknanya yang dalam, kaitannya dengan masa depan Islam (terhitung sejak zaman Rasul hingga kini dan di masa-masa mendatang). Pertama, kata لَن (lan) adalah huruf nafĭ (negasi) yang termasuk jenis taukĭd (kata penguat atau penegas), untuk menegaskan bahwa negasi yang terjadi di situ sifatnya berkelanjutan, seterusnya, selama-lamanya, sama lamanya dengan usia keberlakuan al-Qur’an.

 Karena Kitab Suci samawi terakhir ini berlaku hingga Hari Kiamat, maka fungsi لَن (lan) sebagai negasi taukĭd  di ayat ini juga berlaku sampai Hari Kiamat. Kedua, kata تَرْضَى (tardhā) yang kata dasarnya رضى (ra-dhi-ya), oleh al-Mawrid al-Qareeb Dictionary diartikan dengan “to be satisfied (with), content (with); to content oneself (with), to be pleased (with); to accept (to), agree (to), approve (of)”. Sedangkan penulis Kamus Kontemporer Arab-Indonesia mengartikannya dengan “merestui, meridhai, senang”. Makanya penulis Kamus al-Munawwir menyebutnya sebagai lawan dari kata سَخِطَ (sa-khi-tha) yang berarti “marah, murka, benci”. Ketiga, kata عَنكَ (‘anka), yang aslinya berasal dari dua penggal kata: عَن (‘an) dan كَ (ka). Kata عَن (‘an) sebetulnya adalah bagian dari kata تَرْضَى (tardhā), sehingga lengkapnya harus berbunyi تَرْضَى عَن (tardhā ‘an). Sehingga yang paling penting di dalam kata عَنكَ (‘anka) ini ialah huruf كَ (ka)-nya yang merupakan dhamĭr mukhathab mufrad (kata ganti orang kedua tunggal) untuk Rasulullah. Disinilah menariknya, huruf كَ (ka)-nya untuk Rasulullah, sementara Rasulullah manusia biasa (secara bilogis) yang kematiannya juga pasti.

Padahal tadi dikatakan bahwa kata لَن (lan) menunjukkan negasi taukĭd yang sifatnya berkelanjutan, selama-lamanya. Kalau huruf كَ (ka)-nya hanya dibatasi pada Rasulullah saja, secara otomatis makna yang dikandung kata لَن (lan) menjadi terbatas, bahkan masa berlakunya sangat-sangat singkat dibanding usia keberlakuan al-Qur’an, keberlakuan risalah kenabian. Agar ayat لَن تَرْضَى عَنكَ (lan tardhā ‘anka) terus berlaku, seperti disifati oleh kata لَن (lan), sepanjang keberlakuan al-Qur’an dan risalah kenabian, maka yang bisa difahami di situ ialah bahwa ayat ini memberikan indikasi yang begitu jelas tentang mustinya selalu ada satu sosok ilahi di setiap masa yang mengganti posisi Rasul di huruf كَ (ka)-nya. Sosok-sosok inilah yang akan menerima keberlakuan ayat 120 ini pada dirinya. Kalau sekiranya yang dituju bukan satu sosok khusus, maka ayatnya akan seperti ini: “Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kalian ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kalian ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (9:96)

3). Menurut al-Wahidi, ayat ini turun berkenaan dengan permintaan cease-fire (gencatan senjata) orang-orang Yahudi dan Nashrani kepada Rasul dalam suatu peperangan. Mereka berharap bahwa dengan cease-fire (gencatan senjata) dan waktu tangguh yang diberikan kepada mereka itu, Rasul sekaligus ridha dan sepakat dengan مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) mereka. Sedangkan menurut as-Suyuthi, mengutip Ibnu Abbas, ayat ini turun berkenaan dengan pemindahan kiblat salat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram, yang membuat orang Yahudi dan Nashrani kecewa dan berputus asa dalam mengusahakan agar Nabi ridha dengan مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) mereka.

 Baik salah satunya atau kedua-duanya benar, tetap tidak bertentangan dengan fakta bahwa melalui ayat ini Allah swt meyakinkan kita melalui Rasul bahwa إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى [inna ɦudallaɦ ɦuwal ɦudā, Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)], sehingga bagaimanapun canggih, rapih, indah, dan sistematisnya cara mereka menarik perhatian kita untuk ridha kepada مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) mereka, kita tetap harus berkeyakinan bahwa Islam sebagai هُدَى اللّهِ (ɦudallaɦ,Petunjuk Allah)-lah yang benar. Dengan modal keyakinan seperti itu, kita boleh bergaul dengan siapapun dan dengan agama atau keyakinan apapun, dengan penuh percaya diri, dan dengan prinsip-prinsip yang tak mudah melorot. Penggunaan frase هُدَى اللّهِ (ɦudallaɦ,Petunjuk Allah) menjelaskan dua hal. Satu, risalah yang dibawa Nabi Muhammad bukanlah inisiatif dan kreasi pribadinya, bahkan bukan produk kejeniusan manusia atau makhluk manapun.

 Risalah Islam adalah Risalah Allah, yang merupakan bukti Kasih Sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya dari kalangan jin dan manusia. Allah tidak ingin membiarkan mereka tersesat. Allah tidak ingin membiarkan mereka menderita dunia-akhirat. Maka Dia mengutus Rasul-Nya untuk membimbing mereka menerapkan risalah tersebut, tanpa perhitungan untung-rugi. Maka kalau manusia menolaknya, manusia itu sendirilah yang merugi. Dua, selain dari yang dibawah oleh Nabi Muhammad, dipastikan bukan هُدَى اللّهِ (ɦudallaɦ), bukan Petunjuk Allah. Sehingga sampai kapan pun dan dengan formula intelektual apapun tetap tidak mampu membawa manusia keluar dari belitan problem hidupnya (individu dan masyarakat). “…Barangsiapa yang menjadikan syaitan (dari kalangan manusia) menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata” (4:119).

4). Bahkan bukan hanya merugi. Siapa yang mengikuti مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) mereka, dengan meninggalkan risalah Islamnya, maka Allah memastikan akan menarik diri sebagai Pelindung dan Penolong mereka: وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ [wa lainit-taba’ta aɦwā-aɦum ba’dalladzĭy jā-aka minal-‘ilmi mā laka minallaɦi min waliyyin wa lā nashĭyr, dan jika seandainya kamu benar-benar mengikuti hawa nafsu (kehendak) mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu]. Ada dua jenis pernyataan yang dikandung ayat ini: pernyataan yuridis dan pernyataan logis. Pertama, pernyataan yuridis. Ialah bahwa apabila Nabi atau sosok ilahi pelaksana risalah mengikuti kehendak (hawa nafsu) mereka (Yahudi dan Nashrani), maka Nabi sekalipun, sosok ilahi sekalipun, tidak akan dapat perlindungan dan pertolongan dari Allah.

Ini adalah hukum takwini (hukum alam) dan tasyri’i (hukum syariat) yang sangat jelas yang perlu difahami oleh kita semua, pengikut Rasulullah, yang mencita-citakan risalah Islam sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara. Kedua, pernyataan logis. Apabila kita menjadi mangsa bangsa-bangsa lain, menjadi pecundang, menjadi korban ipoleksosbudhan, menjadi bahan mainan, menjadi korban represi dan opresi, menunjukkan kita tidak mendapatkan pertolongan dan perlindungan-Nya. Dan tidak mendapatkan pertolongan dan perlindungan-Nya, logikanya, kita mengikuti kehendak (hawa nafasu) mereka, masuk dalam perangkap yang mereka pasang.

Pertanyaannya, apakah ayat ini menunjukkan bahwa Rasul sekalipun ‘nyaris’ masuk ke dalam perangkap mereka sehingga diingatkan oleh ayat ini? Tidak. Karena penggalan ayat ini dimulai dengan sebuah pengandaian: وَلَئِنِ (wa lain, dan jika seandainya). Pengandaian bukanlah kejadian. Ayat ini hanya bersifat tarbiyah (pendidikan) kepada kita agar tetap berpegang teguh dan patuh kepada sosok ilahi pelaksana risalah. Begitu lepas dari sosok ilahi ini, kita pun dengan serta-merta diterkam oleh pukat harimau mereka (bangsa Yahudi dan Nashrani). “Dan demikianlah, Kami telah menurunkan (al-Qur’an) itu sebagai hukum (peraturan yang benar) dalam Bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (13:37)

 wallahu'alam

Semoga bermanfaat

sumber tafsir al-barru

0 comments:

Post a Comment

Komentarnya sangat diharapkan, Terima kasih