Kekeliruan dan Kesesatan Ilmu Kalam
(Mantiq, Tasawuf, Filosofi, teologi, liberalisasi dll )
Oleh : www.ashabul-muslimin.tk
Mukadimah
Ilmu
kalam memang ilmu yang terkesan nyeleneh. Karena mempelajari sesuatu hal diluar
kemampuan akal manusia kemudian terkadang juga orang yang tidak kuat akalnya
belajar ilmu ini bisa jadi gila, naudzubillah. Oleh karena itulah secara kasar
saya katakan ilmu kalam ini disebut juga ilmu pengawuran. Karena terkadang
mereka mengingkari sebagian al-Qur'an kemudian lebih mengambil pendapat akalnya
sendiri atau barangkali mengimpor pendapat-pendapat filusuf-filusuf yunani yang
sudah jelas-jelas mereka itu kaum paganisme (penyembah berhala). Sungguh tidak
pantas sekali jika pendapat orang musyrik itu diambil sebagai landasan berpikir
bagi kaum muslimin. Ilmu ini bisa membuat orang berbuat syirik dsb. Karena
secara mendasar saja bisa dibilang yang mempelajari ilmu ini artinya menyembah
akalnya sendiri secara tidak sadar, karena telah menganggap akalnya lebih
unggul daripada ayat Allah SWT.
Apa
yang disebut dengan ilmu kalam tidak pernah ada pada masa Nabi saw atau pada
masa sahabatnya. Ilmu ini mulai muncul setelah berbagai kebudayaan asing
diterjemahkan kedalam bahasa arab, khususnya filsafat dan ilmu mantiq Yunani.
Sebagian besar kaum muslimin yang menyibukkan diri dalam membahas ilmu
kalam tidaklah menjadi otomatis kafir akibat perbuatan tersebut, akan tetapi
jika sudah terlalu jauh sehingga sampai mengingkari akidah islam bisa
mengakibatkan kekafiran. Tujuan mereka dalam membahas ilmu tidak
lain hanya ingin menjelaskan hal- hal yang menyangkut
aqidah Islam serta mempertemukan antara metode ilmu mantiq dengan apa
yang mereka anggap kontroversial dari nash-nash syara'. Hanya
saja mereka tersesat dan menyibukkan pikiran mereka dan orang lain terhadap
pembahasan-pembahasan yang akal mereka sendiri tidak sanggup menjangkaunya.
Padahal langkah yang benar bagi mereka semestinya membatasi pembahasan hanya
pada nash-nash syara', yaitu berdasarkan wahyu semata.
A. Sejarah Munculnya
Ilmu Kalam
Sepanjang
masa Nabi saw, kaum muslimin hanya mempunyai satu aqidah yang sama yaitu apa
yang terdapat dalam al-Quran dan apa yang sesuai dengan metode Kitabullah
tersebut. Mereka hidup dimasa turunnya wahyu dan mendapat kemuliaan menjadi
sahabat-sahabat rasul. Cahaya persahabatan tersebut telah menghilangkan
kegelapan, keraguan dan khayalan. Kekuatan iman yang mereka miliki,tidak pernah
menimbulkan satu pertanyaan pun yang mengandung unsur keraguan. Mereka tidak
berusaha mencari ilmu yang Allah sendiri tidak
mengajarkannya kepada manusia. Merekalah yang paling baik dan tinggi
martabatnya diantara umat ini.
Bahkan
Rasulullah saw sendiri pernah memberikan kesaksian tentang kebaikan
mereka ini. Karena itulah jalan yang mereka tempuh dalam membahas aqidah serta
penyampaiannya lebih selamat, bijaksana dan lebih mendalam daripada
metode-metode lain. Betapa tidak !? Sebab, ini merupakan metode Rasul yang
berdasarkan metode al- Quran dalam membahas aqidah. Dengan metode ini
orang-orang akan mendapatkan kepuasan jiwa,
petunjuk yang benar, ilmu yang disertai keyakinan. Berkat
metode tersebut, seorang muslim akan menjadi suatu potensi tenaga yang dasyat
yang kemudian mendorongnya untuk menyampaikan dakwah dengan semangat. Jalan
yang ditempuh dalam hal ini adalah jalan Rasul dan para sahabatnya. Abad
pertama hijriyah telah berakhir setelah dakwah Islam tersebar luas dan
menguasai segenap penjuru. Islam pada waktu itu disampaikan dengan pemahaman
yang cemerlang, iman yang dalam dan kesadaran yang hebat.
Akibat dari perkembangan dakwah Islam tersebut, Islam berinteraksi dengan peradaban dan agama yang dimiliki bangsa-bangsa lain yang masuk Islam. Dikarenakan al-Quran telah mencantumkan rincian tentang aqidah Islam dan telah membeberkan aqidah-aqidah yang berlawanan dengannya, begitu pula bantahan- bantahan yang melemahkan aqidah lain. Maka sebagai akibat interaksi ini, timbullah pergolakan pemikiran antara Islam dengan kekufuran. Hal ini merupakan salah satu sebab yang mendorong pemikiran kaum muslimin membahas aqidah Islam dari berbagai segi.
Termasuk dalam menentukan cara membela aqidah Islam dihadapan aqidah-aqidah (keyakinan) lainnya, terutama filsafat Yunani yang telah dipakai orang-orang nasrani dalam menghadapi dan menghalangi dakwah Islam. Usaha tersebut menghasilkan adanya aktivitas penterjemahan besar-besaran sehingga filsafat Yunani ini beralih dan diketahui oleh sebagian kum muslimin yang menyibukkan diri dalam aktivitas penerjemahan tersebut, yang kelak menghasilkan apa yang disebut dengan 'Ilmu Kalam' dan metode pembahasan 'Ilmu Mantiq'.
Akibat dari perkembangan dakwah Islam tersebut, Islam berinteraksi dengan peradaban dan agama yang dimiliki bangsa-bangsa lain yang masuk Islam. Dikarenakan al-Quran telah mencantumkan rincian tentang aqidah Islam dan telah membeberkan aqidah-aqidah yang berlawanan dengannya, begitu pula bantahan- bantahan yang melemahkan aqidah lain. Maka sebagai akibat interaksi ini, timbullah pergolakan pemikiran antara Islam dengan kekufuran. Hal ini merupakan salah satu sebab yang mendorong pemikiran kaum muslimin membahas aqidah Islam dari berbagai segi.
Termasuk dalam menentukan cara membela aqidah Islam dihadapan aqidah-aqidah (keyakinan) lainnya, terutama filsafat Yunani yang telah dipakai orang-orang nasrani dalam menghadapi dan menghalangi dakwah Islam. Usaha tersebut menghasilkan adanya aktivitas penterjemahan besar-besaran sehingga filsafat Yunani ini beralih dan diketahui oleh sebagian kum muslimin yang menyibukkan diri dalam aktivitas penerjemahan tersebut, yang kelak menghasilkan apa yang disebut dengan 'Ilmu Kalam' dan metode pembahasan 'Ilmu Mantiq'.
B. Metode
Baru
Metode-metode
ilmu kalam (mantiq) yang telah dilahirkan oleh generasi yang datang setelah
sahabat (khalaf) adalah teramat jauh berbeda dengan metode sebelumnya yaitu
metode sahabat (salaf). Karena metode khalaf ini telah membicarakan Dzat Allah
dan berdasarkan pada metode pembahasan filosof filosof Yunani. Metode ini
menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal tentang iman.
Dalam menentukan bukti, ia berlandaskan pada ilmu mantiq dan telah mengambil
sikap pertengkaran/ pertikaian untuk menghadapi para filosof dalam setiap
pembahasan. Mereka juga membahas tentang apa yang tidak dapat diindera atau
dijangkau tentang dzat Allah dan sifat-sifat-Nya.
Dalam hal ini, mereka telah mengikuti ayat-ayat mutasyabihat yang banyak menimbulkan penakwilan, lalu bertambahlah sikap permusuhan tersebut sehingga pada akhirnya terjadi penyimpangan (fitnah) terhadap aqidah yang sebenarnya. Semua kejadian itu telah terjadi antar sesama kaum muslimin yang ikut sibuk membahas masalah ini. Bahkan sampai melibatkan sebagian dari ulama fiqih yang telah berusaha menjauhkan diri dari pembahasan ilmu kalam, yang malah telah memberi peringatan kepada orang-orang untuk menjauhinya, seperti yang terjadi pada Imam Ahmad ibn Hambal ra.
Dalam hal ini, mereka telah mengikuti ayat-ayat mutasyabihat yang banyak menimbulkan penakwilan, lalu bertambahlah sikap permusuhan tersebut sehingga pada akhirnya terjadi penyimpangan (fitnah) terhadap aqidah yang sebenarnya. Semua kejadian itu telah terjadi antar sesama kaum muslimin yang ikut sibuk membahas masalah ini. Bahkan sampai melibatkan sebagian dari ulama fiqih yang telah berusaha menjauhkan diri dari pembahasan ilmu kalam, yang malah telah memberi peringatan kepada orang-orang untuk menjauhinya, seperti yang terjadi pada Imam Ahmad ibn Hambal ra.
Dan
begitulah sikap ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in. Mereka lebih
banyak menyibukkan diri dengan mengamalkan Kitabullah daripada sibuk debat
kusir dan berbantah-bantahan. Pada waktu Islam kemudian menyebar luas ke
pelosok dunia. Terjadilah kemudian penaklukan-penaklukan daerah baru. Setelah itu
sebagian kaum muslimin mulai terpengaruh dengan sebagian ide-ide filsafat
antara lain filsafat Yunani. Akibatnya mereka terpecah menjadi banyak kelompok,
firqoh dan aliran-aliran. Sehingga mereka lebih banyak sibuk dalam berdebat
daripada mengamalkan Kitabullah. Hati mereka diabaikan sedangkan akal mereka
diagung-agungkan sampai begitu beraninya membahas segala sesuatu (baik yang
dapat dijangkau ataupun yang tidak).
Mereka
berpikir dan membahas Dzat Allah dengan cara yang berlebihan begitu pula terhadap
sifat-sifat-Nya, yang mereka bahas secara mendetail berdasarkan pertimbangan
akal dan didukung dengan pendapat serta cara pemikiran para filosof sebelumnya.
Padahal Allah SWT adalah Maha Pencipta yang tidak dapat dijangkau manusia. Jika
manusia masih merasa dirinya lemah untuk mengetahui secara detail tentang
dirinya sendiri dan apa yang ada dalam dirinya sampai sekecil-kecilnya, maka
bagaimana mungkin akal manusia mampu menjangkau Dzat Allah Yang Maha Pencipta
bagi alam semesta dan seisinya. Juga, Dia lah yang menguasai segala urusan yang
menyangkut Dzat Allah dengan segala sifat-sifat-Nya, padahal tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan-Nya yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur/pembanding!
Satu-satunya jalan yang harus ditempuh dalam hal ini adalah dengan menjadikan firman Allah SWT tentang dzat dan sifat-sifat-Nya serta hadist Rasul yang shahih dan terbukti kebenarannya, merasuk dalam kalbu kita, lalu mengimaninya tanpa takwil dan tanpa mempersulit pembahasannya. Sebab kita tahu bahwa jika kita menakwilkan suatu ayat/hadist maka penakwilan itu harus sesuai dengan firman Allah/sabda Rasul. Orang yang menakwilkan sesuatu biasanya tidak sanggup memastikannya, benar atau salah. Yang membentuk keyakinan adalah makna/lafazhlafazh zhahir (berdasarkan konteks kalimat) dari ayat/hadist, juga lafazh hakiki (makna sebenarnya( bukan yang majazi atau makna kiasan).
Satu-satunya jalan yang harus ditempuh dalam hal ini adalah dengan menjadikan firman Allah SWT tentang dzat dan sifat-sifat-Nya serta hadist Rasul yang shahih dan terbukti kebenarannya, merasuk dalam kalbu kita, lalu mengimaninya tanpa takwil dan tanpa mempersulit pembahasannya. Sebab kita tahu bahwa jika kita menakwilkan suatu ayat/hadist maka penakwilan itu harus sesuai dengan firman Allah/sabda Rasul. Orang yang menakwilkan sesuatu biasanya tidak sanggup memastikannya, benar atau salah. Yang membentuk keyakinan adalah makna/lafazhlafazh zhahir (berdasarkan konteks kalimat) dari ayat/hadist, juga lafazh hakiki (makna sebenarnya( bukan yang majazi atau makna kiasan).
C. Kekeliruan-Kekeliruan Fatal Ilmu Kalam
Setelah
membahas dan mendalami metode para ulama kalam dapat kita simpulkan bahwa
metode mereka adalah keliru. Metode tersebut tidak dapat membentuk iman bagi
seseorang apalagi menguatkannya. Metode ini hanya menghasilkan sekedar
pengetahuan tertentu, bahkan dapat dikatakan pengetahuan yang sesat dan
meragukan, karena merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang tidak pernah
diberitahukan kepada manusia. Juga karena panca indera kita tidak sanggup
menjangkaunya. Kekeliruan metode tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek:
Pertama; Metode
yang Keliru
ulama kalam dalam menentukan bukti didasarkan pada ilmu mantiq, bukan kepada penginderaan. Hal ini menjadikan seorang muslim sangat memerlukan belajar ilmu mantiq agar ia dapat membuktikan eksistensi Allah. Ini berarti bagi seorang yang belum mengetahui ilmu mantiq maka ia tidak boleh membahas aqidah Islam. Padahal islam datang pada masa dimana kaum muslimin belum mengetahui ilmu mantiq. Mereka telah mengembangkan risalah Islam dengan cara yang terbaik serta memberikan bukti-bukti yang meyakinkan terhadap segala hal yang menyangkut aqidah mereka, tanpa memerlukan pembahasan ilmu mantiq dalam menentukan bukti apapun terhadap aqidah Islam. Ini dari satu segi. Sedangkan dari segi lain metode ilmu mantiq (logika) dalam menentukan suatu bukti memungkinkan terjadinya kekeliruan dalam menarik kesimpulan.
ulama kalam dalam menentukan bukti didasarkan pada ilmu mantiq, bukan kepada penginderaan. Hal ini menjadikan seorang muslim sangat memerlukan belajar ilmu mantiq agar ia dapat membuktikan eksistensi Allah. Ini berarti bagi seorang yang belum mengetahui ilmu mantiq maka ia tidak boleh membahas aqidah Islam. Padahal islam datang pada masa dimana kaum muslimin belum mengetahui ilmu mantiq. Mereka telah mengembangkan risalah Islam dengan cara yang terbaik serta memberikan bukti-bukti yang meyakinkan terhadap segala hal yang menyangkut aqidah mereka, tanpa memerlukan pembahasan ilmu mantiq dalam menentukan bukti apapun terhadap aqidah Islam. Ini dari satu segi. Sedangkan dari segi lain metode ilmu mantiq (logika) dalam menentukan suatu bukti memungkinkan terjadinya kekeliruan dalam menarik kesimpulan.
Hal
ini disebabkan oleh gagasan yang salah yang tidak didasarkan atas fakta-fakta
namun lebih kepada firasat pengawuran. Berbeda halnya dengan metode berpikir
yang didasarkan atas fakta-fakta yang nyata. Metode terakhir inilah yang telah
digunakan oleh al-Quran dalam menentukan bukti-bukti sehingga tidak memungkinkan
terjadinya suatu kekeliruan dalam berpikir. Adapun metode yang menimbulkan
kekeliruan dalam berpikir, jelas tidak boleh dijadikan patokan dalam menentukan
bukti bukti.
Kedua: Merujuk
Kepada Akal Dalam Masalah Ghaib.
metode yang digunakan para
Mutakallimin adalah dengan menjadikan akal sebagai patokan dalam membahas
segala hal yang berkaitan dengan masalah iman, bahkan sampai-sampai menjadikan
akal sebagai standar untuk memahami hal-hal yang ghaib pula. Mereka telah
menafsirkan al-Quran berdasarkan pertimbangan akal, sehingga menyalahi
dasar-dasar lainnya, seperti; mensucikan Allah secara mutlak, kebebasan dalam
berkehendak, keadilan Allah dan pemilihannya yang terbaik dalam setiap
keputusan/ketentuan dan sebagainya. Mereka telah merujuk kepada akal dalam
menafsirkan ayat-ayat yang dari segi lahirnya dianggap kontroversial. Akal juga
dijadikan sebagai standar pemutus terhadap hal-hal yang mutasyabihat (samar).
Bahkan mereka telah menakwilkan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan pendapat yang mereka pilih. Sikap penakwilan ini selalu digunakan karena mereka bertolak dari akal-akalan, bukannya dari wahyu (al-Quran). Mereka beranggapan bahwa ayat-ayat al-Quran harus ditakwilkan dan disesuaikan dengan ketentuan akal. Begitulah sikap mereka yang telah menjadikan akal sebagai patokan untuk menafsirkan al- Quran yang mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam banyak pembahasan. Jika saja mereka menjadikan al-Quran sebagai patokan untuk setiap pembahasan dan akal mereka didasarkan pada al-Quran, tentu tidak akan sampai membahas sesuatu yang nyeleneh dan diluar nalar mereka.
Bahkan mereka telah menakwilkan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan pendapat yang mereka pilih. Sikap penakwilan ini selalu digunakan karena mereka bertolak dari akal-akalan, bukannya dari wahyu (al-Quran). Mereka beranggapan bahwa ayat-ayat al-Quran harus ditakwilkan dan disesuaikan dengan ketentuan akal. Begitulah sikap mereka yang telah menjadikan akal sebagai patokan untuk menafsirkan al- Quran yang mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam banyak pembahasan. Jika saja mereka menjadikan al-Quran sebagai patokan untuk setiap pembahasan dan akal mereka didasarkan pada al-Quran, tentu tidak akan sampai membahas sesuatu yang nyeleneh dan diluar nalar mereka.
Memang
benar, iman terhadap al-Quran sebagai kalamullah (firman Allah) harus
didasarkan kepada akal, yakni akal lah yang telah membuktikan kemukjizatannya.
Tetapi setelah al-Quran diimani akan menjadi standar untuk mengimani segala
sesuatu yang tercantum di dalam al-Quran, tanpa dipertimbangankan lagi oleh
akal. Oleh karena itu jika terdapat berbagai ayat dalam al-Quran (mengenai
aqidah), maka akal tidak boleh dijadikan tolok ukur kebenaran dan kesalahan
makna ayat-ayat tersebut. Kita wajib merujuk hanya pada ayat-ayat al-Quran itu
sendiri tanpa 'campur tangan' akal. Dalam hal ini fungsi akal hanya memahami
nash-nash saja. Sayangnya para mutakallimin (ahli kalam) tidak berbuat
demikian, melainkan menjadikan akal sebagai tolok ukur dalam penafsiran
al-Quran. Oleh karena itu, muncullah sikap penakwilan ayat ayat al-Quran dengan
cara yang serampangan dan menghasilkan sesuatu yang sesat.
Ketiga: Mengikuti
Pendapat Para Filosof
Para mutakallimin telah menjadikan
sikap pertikaian dengan para filosof sebagai dasar pembahasan mereka. Misalnya,
golongan mu'tazilah mengambil pendapat dari para filosof dan membantah
mereka. Golongan ahlus sunnah dan jabariyah membantah pendapat mu'tazilah
juga dengan mengambil pendapat para filosof dan menentangnya. Padahal yang
menjadi obyek pembahasan adalah islam, bukan sikap pertikaian para filosof
maupun lainnya. Seharusnya mereka membahas apa yang terdapat pada al-Quran dan
Hadist, dan berhenti disitu tanpa melampaui batas pembahasannya, juga tanpa
memperdulikan lagi pendapat siapapun. Akan tetapi mereka tidak melakukannya.
Mereka malah mengalihkan aktivitas tabligh Islam dan penjelasan tentang hal-hal
yang menyangkut aqidah Islam kepada perdebatan dan berbantah-bantahan. Mereka
telah memadamkan kekuatan dan semangat aqidah yang merupakan pendorong jiwa
manusia, mengaburkan makna aqidah sehingga menjadikannya sebagai aktifitas
perdebatan belaka yang dilakukan secara terus menerus atau sebagai keahlian
tersendiri dalam ilmu kalam.
Sikap
mereka ini berlawanan dengan metode al-Quran yang juga pernah membantah
sebagian pemikiran-pemikiran filsafat, tetapi berdasarkan suatu metode yang
hanya berlandaskan kepada seruan yang difokuskan kepada akal dan fitroh
manusia. Dengan demikian metode ini menjadikan setiap orang yang mendengar
seruan tersebut mendapat kepastian dan meyakini apa yang dibahas oleh akal
terhadap hal-hal yang dapat dijangkaunya yang menunjukkan adanya Sang Khaliq.
Disamping ia mampu membuktikan keesaan dan kekuasaan Allah. Hikmah/tujuan dari
ciptaan-ciptaan dan keagungan-Nya.
Bahkan,
seseorang yang sampai kepadanya seruan al-Quran akan merasakan bahwa ia
harus mendengar seruan itu dan mengikutinya sampai seorang atheis pun bisa
memahami dan cenderung kepadanya. Metode al-Quran adalah sangat sesuai
untuk setiap orang, tanpa ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, baik
intelek maupun awam. Metode al-Quran sungguh telah menjadikan manusia berpikir
lebih serius tentang keberadaannya di alam ini serta kelanjutannya diakhirat
nanti. Contoh-contoh untuk seruan tersebut antara lain firman Allah SWT:
"Hai
manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan
jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (QS. al-Hajj [22]: 73-74)
Juga
firman Allah dalam QS. ath-Thâriq [86]: 5-8, QS. adz-Dzriyat [51]: 20-21, QS.
an-Nazi'ât [79]: 27-33). Demikianlah metode al-Quran dalam
menjelaskan/menetapkan kekuasaan, kehendak, ilmu dan keagungan Allah
berdasarkan apa yang sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Metode tersebut
membangkitkan perasaan jiwa manusia sehingga terpengaruh dengan hasil keputusan
akal yang telah membuktikan serta mengakuinya sesuai dengan hakikat fitrahnya
sehingga manusia merasa puas dan terpenuhilah keinginannya dengan cara yang
menimbulkan ketentraman dan ketenangan jiwa. Keluar dari Realita yang terindera
Para mutakallimin telah keluar dari realita bahkan melampaui batas hingga
hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Mereka membahas hal-hal
di sebalik alam semesta (meta fisika). Misalnya membahas tentang Dzat Allah dan
sifat-sifat- Nya yang merupakan suatu hal yang mustahil dapat dijangkau oleh
indera manusia.
Pembahasan
ini telah dikaitkan dengan pembahasan yang berhubungan dengan realita yang
dapat diindera. Secara berlebihan, mereka telah menganalogkan hal yang ghaib,
yaitu Allah SWT dengan alam nyata, yaitu manusia. Bahkan mereka menetapkan
sifat 'keadilan' Allah SWT sama dengan keadilan menurut pandangan manusia di
bumi. Mereka lupa bahwa manusia (makhluk) itu dapat dijangkau indera, sedangkan
Dzat Allah tidak. Dengan demikian tidak dapat dianalogikan antara satu dengan
lainnya. Mereka juga tidak menyadari bahwa keadilan Allah itu tidak dapat
disamakan dengan keadilan manusia di bumi, juga tidak boleh menundukkan Allah
kepada hukum dan peraturan alam/manusia.
Karena Dia-lah yang menciptakan alam, yang sekaligus mengaturnya sesuai dengan hukum-hukum yang juga Ia ciptakan. Apabila dilihat bahwa manusia dengan segala keterbatasannya memandang dan memahami keadilan dengan cara yang terbatas pula, ia akan menentukan sikap terhadap alam sekitarnya sesuai dengan pemahamannya. Tetapi apabila pandangannya meluas, pemahaman dan sikapnya tentang keadilanpun berubah juga. Lalu bagaimana mungkin manusia akan menganalogikan Rabb, Pencipta alam semesta ini, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, lalu mereka memandang keadilan-Nya sesuai dengan makna yang mereka kehendaki? Begitu pula halnya dengan kriteria penentuan baik dan yang terbaik bagi Allah SWT.
Karena Dia-lah yang menciptakan alam, yang sekaligus mengaturnya sesuai dengan hukum-hukum yang juga Ia ciptakan. Apabila dilihat bahwa manusia dengan segala keterbatasannya memandang dan memahami keadilan dengan cara yang terbatas pula, ia akan menentukan sikap terhadap alam sekitarnya sesuai dengan pemahamannya. Tetapi apabila pandangannya meluas, pemahaman dan sikapnya tentang keadilanpun berubah juga. Lalu bagaimana mungkin manusia akan menganalogikan Rabb, Pencipta alam semesta ini, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, lalu mereka memandang keadilan-Nya sesuai dengan makna yang mereka kehendaki? Begitu pula halnya dengan kriteria penentuan baik dan yang terbaik bagi Allah SWT.
Kelima: Mentakwil Ayat-Ayat
Mutasyabihat
ayat-ayat mutasyabihat yang bersifat global dan tidak memberikan pemahaman yang
jelas bagi pembacanya telah turun dengan penjelasan yang umum tanpa memberi
perincian. Ayat-ayat tersebut dapat berupa penjelasan tentang segala sesuatu
secara garis besar atau berupa ketentuan terhadap fakta/keadaan yang
kelihatannya tidak bisa dibahas, ditelaah dan dijadikan patokan sehingga
pembacanya tidak bisa memalingkan diri darinya. Walaupun membahasnya, namun ia
tidak dapat mengetahui hakikat tujuan makna-maknanya kecuali hanya sebatas apa
yang tersurat dalam lafadz-lafadznya. Oleh karena itu, wajarlah apabila
semuanya ditentukan sikap pasrah kepada ayat-ayat tersebut, tanpa mencari
sebab-sebab (penakwilan) atau penjelasan yang lebih detail.
Sebagai
contoh dalam hal ini, bahwa di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang
menerangkan adanya paksaan pada perbuatan-perbuatan manusia. Sebaliknya, banyak
juga yang menunjukkan adanya ikhtiyar (pilihan manusia sendiri).
Diantaranya firman Allah SWT: TQS. al- Mukmin [40]: 31, juga dalam QS. al-Insân
[76]:30, QS. al-Baqarah [2]: 286, QS. al-An'âm [6]: 125. Di dalam al-Quran
terdapat pula sejumlah ayat yang menyebutkan bahwa Allah memiliki wajah dan
tangan, menjelaskan bahwa Dia ada di langit. Diantaranya seperti firman-Nya:
"Apakah
kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?" (QS. al-Mulk [67]: 16)
Juga
dalam QS. ar-Rahman [55]: 27, QS. al-Fajr [89]: 22, QS. al-Maidah [5]: 64.
Disamping itu terdapat ayat-ayat lain yang menetapkan sikap pensucian terhadap
Allah SWT, yakni tidak boleh menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya, seperti
firman- Nya: TQS. asy-Syûrâ [42]: 11, QS. al-An'âm [6]: 100.
Demikianlah
ragam ayat al-Quran yang tersebar di berbagai segi yang Nampak adanya pertentangan
(kontroversial). Ayat ayat inilah yang oleh al-Quran disebut sebagaiayat-ayat
mutasyabihat. Mengikuti Ayat-Ayat Mutasyabihat Pada waktu ayat-ayat
tersebut turun, Rasulullah saw menyampaikannya kepada masyarakat, para sahabat,
segera saja kaum muslimin mengimaninya. Mereka menghafal ayat-ayat tersebut di
dalam lubuk hatinya dan ayat-ayat tersebut tidak menimbulkan pembahasan dan
perdebatan apapun di kalangan mereka.
Mereka tidak melihat adanya pertentangan apapun yang memerlukan penjelasan yang detail. Mereka memahami semua ayat sesuai dengan segi yang diterangkan dan ditetapkan oleh ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat tersebut turun secara berangsur-angsur sesuai dengan kenyataan yang mereka alami. Mereka mengimani ayatayat tersebut, membenarkan dan memahaminya dengan pemahaman yang global dan mereka merasa cukup dengan pemahaman seperti ini. Mereka menganggap ayat-ayat tersebut sebagai penjelas bagi kenyataan atau sebagai penetapan bagi suatu hakikat.
Banyak dari kalangan para ulama intelek tidak masuk pada pembahasan perincian ayat-ayat mutasyabihat ini dan tidak pula memperdebatkannya. Bahkan, dipandangnya bahwa hal tersebut bukan merupakan suatu kemaslahatan bagi Islam. Maka pemahaman makna yang bersifat global bagi setiap orang yang memahaminya sesuai dengan ukuran yang dapat dipahami, tidak perlu ia terjerumus ke dalam perincian dan bahasan yang mengada-ada. Demikianlah kaum muslimin menemukan metode al-Quran, menerima ayat-ayat-Nya dan bertindak sesuai dengan metode tersebut.
Pada waktu datang golongan mutakallimin, mereka meletakkan pemahamannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat berdasarkan pada apa yang didapatkan oleh akal mereka tentang makna ayat 'laisakamitslihi syaiun' (tidak ada sesuatu apapun yang menyamai-Nya). Mereka menjadikan pemahaman ini sebagai penentu dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat. Mereka bangun di atas pemahaman ini dasar-dasar (ushuluddin menurut mazhab mereka). Lalu membahasnya secara terperinci berdasarkan ushul pemahaman mereka tersebut. Disamping itu mereka menakwilkan segala sesuatu yang bertentangan dengan pendapatnya. Juga, mengkafirkan semua orang yang menyalahi pendapatnya.
Banyak dan panjangnya pembicaraan dalam masalah ini menyebabkan timbulnya fitnah yang besar di kalangan kaum muslimin. Andai kata mereka mengembalikan masalah tersebut kepada Allah dan Rasul, niscaya mereka akan mendapatkan kebaikan yang melimpah ruah. Firman Allah SWT mengumpamakan mereka seperti dalam QS. Ali Imran [3]: ayat 7.
Mereka tidak melihat adanya pertentangan apapun yang memerlukan penjelasan yang detail. Mereka memahami semua ayat sesuai dengan segi yang diterangkan dan ditetapkan oleh ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat tersebut turun secara berangsur-angsur sesuai dengan kenyataan yang mereka alami. Mereka mengimani ayatayat tersebut, membenarkan dan memahaminya dengan pemahaman yang global dan mereka merasa cukup dengan pemahaman seperti ini. Mereka menganggap ayat-ayat tersebut sebagai penjelas bagi kenyataan atau sebagai penetapan bagi suatu hakikat.
Banyak dari kalangan para ulama intelek tidak masuk pada pembahasan perincian ayat-ayat mutasyabihat ini dan tidak pula memperdebatkannya. Bahkan, dipandangnya bahwa hal tersebut bukan merupakan suatu kemaslahatan bagi Islam. Maka pemahaman makna yang bersifat global bagi setiap orang yang memahaminya sesuai dengan ukuran yang dapat dipahami, tidak perlu ia terjerumus ke dalam perincian dan bahasan yang mengada-ada. Demikianlah kaum muslimin menemukan metode al-Quran, menerima ayat-ayat-Nya dan bertindak sesuai dengan metode tersebut.
Pada waktu datang golongan mutakallimin, mereka meletakkan pemahamannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat berdasarkan pada apa yang didapatkan oleh akal mereka tentang makna ayat 'laisakamitslihi syaiun' (tidak ada sesuatu apapun yang menyamai-Nya). Mereka menjadikan pemahaman ini sebagai penentu dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat. Mereka bangun di atas pemahaman ini dasar-dasar (ushuluddin menurut mazhab mereka). Lalu membahasnya secara terperinci berdasarkan ushul pemahaman mereka tersebut. Disamping itu mereka menakwilkan segala sesuatu yang bertentangan dengan pendapatnya. Juga, mengkafirkan semua orang yang menyalahi pendapatnya.
Banyak dan panjangnya pembicaraan dalam masalah ini menyebabkan timbulnya fitnah yang besar di kalangan kaum muslimin. Andai kata mereka mengembalikan masalah tersebut kepada Allah dan Rasul, niscaya mereka akan mendapatkan kebaikan yang melimpah ruah. Firman Allah SWT mengumpamakan mereka seperti dalam QS. Ali Imran [3]: ayat 7.
Dia-lah
yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat,
semuanya itu dari isi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
(QS.
Ali Imran [3]: ayat 7)
Rasulullah
bahkan dulu pernah memberi wasiat kepada seluruh kaum muslimin supaya kita
waspada dan menjauhi ilmu kalam dan pengikut ilmu ini. Karena kebanyakan mereka
telah tersesat dari jalan yang lurus Perlu kita merenungkan sabda Rasulullah
saw yang diriwayatkan oleh Imam muslim dari 'Aisyah ra:
"Andaikata
kalian melihat orang-orang yang mengikuti apa-apa yang mutasyabihat maka mereka
itu adalah orang-orang yang disebut Allah swt (dalam QS. Ali Imran diatas) maka
berhati-hatilah terhadap mereka."
(HR.
Muslim)
Hambatan
Bahasa Ada yang mengatakan bahwa sebab keterlibatan dalam ilmu kalam adalah
kelemahan yang menimpa otak kaum muslimin dalam memahami bahasa arab. Oleh
karena itu, kata mereka, kita akan beralih dari cara para sahabat membahas
aqidah pada cara-cara logika. Bukanlah satu kesalahan apabila kita tetap
memertahankan sikap pensucian terhadap Allah tanpa mengingkari dan
menyerupakan. Alasan mereka ini sebenarnya merupakan hujjah yang lemah. Sebab,
gaya pembahasan yang dilakukan oleh para ulama kalam tidak menunjukkan bahwa
bahasa merupakan salah satu hambatan dalam pemahaman aqidah secara benar,
tetapi obyek bahasan yang ada pada merekalah yang menjadikannya berselisih
pendapat. Sebagai contoh, apabila kita mengatakan:
'Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.'
Makna
ayat ini dapat dipahami artinya dari segi bahasa, tanpa perlu menggunakan
cara-cara mantiq/logika. Akan tetapi berubahnya obyek pembahasan yang dibahas
dari segi Dzat Allah itulah yang mendorong munculnya metode tersebut. Apabila
yang mendorong menggunakan cara-cara logika adalah benar bahasa arab maka
adalam hal ini cukuplah kita menerangkan arti bahasa untuk kata-kata yang membutuhkan
penafsiran/penjelasan dan terhadap makna-makna yang belum jelas dalam benak
kita maka kita terima secara pasrah tanpa membahasnya atau memperdebatkannya
lagi. Tetapi nampaknya bahwa arti lughawi (bahasa) bukan merupakan sebab
penakwilan dan pembahasan tentang Dzat Allah atau terlibatnya akal dalam
kesesatan yang sulit baginya untuk melepaskan diri darinya kecuali dalam
keadaan kalah dan tidak mendapatkan apa-apa.
Tetapi,
penyebab yang sesungguhnya (penakwilan dan pembicaraan mengenai dzat Allah) adalah
mengikuti hawa nafsu dan tidak meneladani metode para ulama salaf. Metode yang
Memecah Belah Persatuan Di antara hal-hal yang perlu diingat adalah bahwa
pembahasan ulama kalam ini telah menyebabkan munculnya banyak firqah-firqah
yang keluar dari Islam. Mereka termasuk dalam golongan-golongan yang disebutkan
oleh rasulullah saw dalam sabdanya:
"Kaum
Yahudi telah terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, semuanya masuk
neraka. Sedangkan Kaum muslim terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan
yang semuanya juga masuk neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya: siapakah
dia, ya Rasulullah? Beliau menjawab: golongan yang mengikuti aku dan para
sahabatku."
(Sunan Tirmidzi:
22642-2643; Sunan Abu Daud 4596-4597; Musnad Imam Ahmad no. 1024)
Rasulullah
saw telah memberi petunjuk kita agar meneladani pola hidup beliau, serta
melarang kita, umatnya menyalahi jalan tersebut. Perhatikanlah sabda Beliau
dalam sebuah hadist shahih:
"Sesungguhnya
siapa saja diantara kalian yang hidup (sesudahku), kelak dia akan melihat
banyak perselisihan. Maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah
khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Lalu gigitlah (peganglah) dengan
gerahammu. Dan jahuilah perkara-perkara yang baru (maksudnya dalam masalah
ibadah). Sesungguhnya semua perkara yang baru adalah bid'ah dan semua bid'ah (mengakibatkan seorang masuk)
dalam neraka."
(Sunan Abi Daud, 4607; Sunan Tirmidzi 2678; Musnad Imam Ahmad IV hal. 126-127).
Demikian
pula diantara hal yang perlu dipegang teguh bahwa pembahasan pembahasan ini dan
yang serupa dengannya akan menyebabkan berhadapannya seorang muslim melawan
saudaranya yang muslim, bahkan akan mengalihkan perhatiannya hanya untuk
menghadapi urusan yang tidak penting dan merugikan umat islam sendiri. Sehingga
orang-orang kafir dapat mengambil kesempatan untuk melontarkan banyak
perkara-perkara syubhat yang menyibukkan kaum muslimin dalam menyelesaikannya,
bahkan dapat menyebabkan terhentinya kegiatan dakwah dan jihad fi sabilillah
akibat pembahasan ilmu-ilmu bodoh itu (ilmu kalam).
Oleh
karena itu kita lihat ketika ilmu-ilmu logika mulai berkurang, bahkan lenyap
dari masyarakat sangat diperhatikan dan menjadi pembahasan serius kaum
orientalis. Begitu juga para teolog nasrani banyak mengarang buku-buku di
bidang ini. Pembahasan ilmu kalam masih mempengaruhi sekelompok kecil umat,
yang alangkah baiknya mereka tinggalkan hanya karena Allah semata, yang mereka
cintai. Jika tidak, maka mereka baik sengaja ataupun tidak berarti telah
mengikuti orang yang tidak mengharapkan kebaikan bagi agama Islam
ini. Dalam kenyataannya, permasalahan ilmu kalam telah dimunculkan oleh
beberapa orang nasrani yang kemudian memeluk Islam tetapi tidak ikhlas
pada-Nya.
Diantara hal yang menunjukkan hal ini adalah bahwa Ghailan ad-Damasyqi pada mulanya sebelum menganut Islam adalah orang Qibti (Nasrani dari Mesir). Dan dialah orang yang paling gencar menyerukan masalah qodar. Misalnya apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Qutaibah di dalam kitabnya Kitabu al-Ma'arif, hal 166:
Diantara hal yang menunjukkan hal ini adalah bahwa Ghailan ad-Damasyqi pada mulanya sebelum menganut Islam adalah orang Qibti (Nasrani dari Mesir). Dan dialah orang yang paling gencar menyerukan masalah qodar. Misalnya apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Qutaibah di dalam kitabnya Kitabu al-Ma'arif, hal 166:
"Ghailan
ad-Damasyqi adalah orang Qibti yang tidak ada searang pun sebelumnya
membicarakannya dan menyeru kepada masalah qodar kecuali Ma'bad al-Jahni. Dan
Ghailan memiliki julukan Abu Marwan. Lalu ditangkap oleh Hisyam ibnu Malik
(wafat pada tahun 125 H), kemudian disalib di pintu gerbang kota
Damaskus."
Sebagaimana
halnya dahulu, sekelompok nasrani yang masuk Islam telah membahas tentang
berbagai syubhat yang mengangkut aqidah, khususnya masalah taqdir, kita akan
menemukan pula bahwa sekelompok Yahudi yang masuk Islam telah menimbulkan
berbagai syubhat; tentang penyerupaan dan penitisan/penjelmaan Allah swt. Untuk
itu dibuatlah cerita-cerita dan riwayat palsu. Asy-Syahru Satani berkata:
"Kebanyakan
berita-berita/cerita yang dibuat berkenaan dengan masalah penyerupaan Dzat
Allah berasal dari Yahudi. Dan sesungguhnya sikap demikian sudah merupakan
tabi'at mereka. Barangkali, Abdullah ibnu Saba' yang dahulu seorang Yahudi
kemudian masuk Islam merupakan orang yang pertama kali memunculkan
perkara-perkara Syubhat dan bid'ah tentang penyerupaan Allah disamping sikap
ekstrim dan dan berlebih-lebihan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib ra.
(
sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abdul Qadir al-Baghdady di dalam kitabnya
al-Farqu Bainal Firoq, hal 214.)
Kesimpulan
Bisa disimpulkan bahwa ilmu
kalam adalah ilmu yang tidak akan ada untungnya jika dipelajari. Ilmu ini
adalah ilmu pengawuran yang disertai pembahasan yang memuaskan hawa nafsu
belaka sehingga menimbulkan kesesatan. Ilmu kalam awalnya adalah lahir dari
paham-paham filosofi yunani kuno yang tentu saja mereka orang penyembah
berhala. Sungguh tidak pantas sebagai orang islam yang percaya Tauhid sibuk
membahas ilmu yang terkesan ngawur ini. Ilmu ini telah banyak menimbulkan
masalah dalam persatuan akidah kaum muslimin. Akibatnya banyak yang membahasa
ilmu ini semakin banyak pula umat islam yang terpecah belah. Jika kita
mengambil contoh maka aliran syi'ah adalah salah satu sempalan sesat akibat
dampak buruk dari munculnya ilmu kalam ini didalam kehidupan kaum muslimin di
masa lalu. Sehingga dampaknya pun sampai sekarang tak pernah berujung.Entah siapa pertama kali yang mencetuskan ilmu bodoh ini. Yang pasti ilmu kalam ini adalah salah satu ajaran iblis dan dajjal untuk membodohi dan menyesatkan manusia. Ilmu ini terkesan sebagai sebuah ilmu yang dapat membuat orang menjadi sombong dan kufur, kenapa?. Karena dengan ilmu ini mereka akan mengutamakan pendapat akal daripada nash-nash dari al-Qur'an dan Hadits Nabi. Itu artinya mengganggap manusia lebih tinggi ilmunya daripada ilmu Allah dan Rasul-Nya. Sehingga yang terjadi pada ahli kalam adalah mereka menjadi orang yang pinter bin keblinger (seakan-akan pandai padahal sebenarnya mereka orang sesat). Dan mereka menjadi orang musyrik yang menyembah dan mengagung-agungkan akalnya sendiri.
Belajar daripada kisah Adam as. dan iblis yang diperintah Allah SWT untuk sujud (penghormatan) kepada beliau Nabi Adam as. namun iblis ingkar dan tidak mau patuh kepada perintah-Nya adalah disebabkan iblis mengikuti hawa nafsunya dan lebih memilih pendapat akalnya daripada ajaran Allah SWT. Yaitu iblis berpendapat bahwa kemuliaan makhluk adalah tergantung dari zat apa ia diciptakan, seperti iblis diciptakan dari api sehingga menurut logikanya adam lebih rendah daripada dia karena diciptakan dari tanah. Padahal kemuliaan yang sebenarnya menurut Allah SWT adalah tidak memandang asal penciptaan atau keturunan, kemuliaan makhluk menurut Allah SWT Tuhan Semesta Alam adalah karena kepatuhannya dan ketakwaanya kepada Allah SWT.
Begitulah barangkali awal mula ilmu kalam ini, bisa dibilang barangkali bahwa pencetus tidak lain adalah iblis laknatullah alaih yang suka menyembah hawa nafsunya sendiri daripada menyembah dan patuh kepada Allah SWT. Ilmu kalam adalah ilmu yang menghasilkan kesombongan yang besar, sehingga tidak pantas sekali jika seorang muslim yang telah belajar banyak tentang akidah islam mempelajari ilmu bodoh ini. Karena dikhawatirkan ilmu ini akan merusak dan memporak porandakan akidahnya. Sebabnya adalah Ilmu ini hanya berlandaskan kebodohan akal, kepuasan hawa nafsu dan pengawuran semata, tidak ilmiah dan tidak sesuai dengan logika.
Wallahu'alam
- Sumber Refrensi : Buku Kekeliruan Ilmu Kalam Penulis: Syamsuddin Ramadhan Cet. I, Rajab 1424 H–September 2003 M
- Pengalaman penulis dan berbagai sumber
DOWNLOAD EBOOK ARTIKEL INI
0 comments:
Post a Comment
Komentarnya sangat diharapkan, Terima kasih