Friday, 21 July 2017
Mengenal Pokok Akidah Islam Ahlussunah Wal Jamaah
Bisyr bin Musa menceritakan kepada kami, beliau berkata: Al-Humaidy menceritakan kepada kami, beliau berkata:As-Sunnah menurut kami adalah:
Seseorang beriman kepada al-qadr ‘takdir’ yang baik atau yang buruk, yang manis atau yang pahit. Sepatutnya ia mengetahui bahwa musibah yang menimpa dirinya tidak akan meleset darinya, dan segala yang meleset darinya tidak akan menimpanya. Semua hal itu adalah al-qadhâ` ‘ketentuan’ dari Allah .
Bahwa, sesungguhnya iman mencakup ucapan dan perbuatan, (yang bisa) bertambah dan berkurang; suatu ucapan tidak akan bermanfaat, kecuali dengan amal, tidak pula amal dan ucapan (bermanfaat), kecuali dengan niat, juga tidak pula amal, ucapan, dan niat (bermanfaat), kecuali dengan sunnah.
At-tarahhum ‘mengucapkan dan mendoakan rahmat’ bagi segenap para sahabat Rasulullah SAW karena Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka mengatakan, ‘Wahai Rabb kami, ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan.’.” [Al-Hasyr: 10]
Tidaklah kami diperintah, kecuali untuk memintakan istighfar bagi mereka. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencela mereka, atau membenci mereka atau salah seorang di antara mereka, tidaklah ia berada di atas Sunnah dan tidak ada hak baginya berupa fai`.
Lebih dari seorang mengabarkan kepada kami dari Malik bin Anas bahwa beliau berkata,
“Allah SWT telah memberi bagian rampasan perang. Allah Ta’âlâ berfirman,
Dan orang-orang faqir dari kaum Muhajirin yang telah dikeluarkan dari kampung-kampung mereka.” [Al-Hasyr: 8]
Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka mengatakan, ‘Wahai Rabb kami, ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan.’.” [Al-Hasyr: 10]
Barangsiapa yang tidak mengucapkan hal ini, ia bukanlah orang yang berhak diberi bagian berupa fai`.”
Al-Qur`an adalah Kalamullah. Saya telah mendengar Sufyân berkata, “Dan Al-Qur`an adalah Kalamullah. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah makhluk, ia merupakan seorang mubtadi’ ‘ahli bid’ah’. Tidak pernah kami mendengar seorang pun mengatakan hal ini.”
Saya mendengar Sufyân berkata, “Dan iman adalah ucapan dan amal, (bisa) bertambah dan berkurang,” maka saudara beliau, Ibrahim bin ‘Uyainah, berkata, “Wahai Abu Muhammad, janganlah engkau mengatakan, ‘iman itu berkurang’.” Sufyân pun marah kemudian berkata, “Diamlah engkau, wahai anak kecil! Demikianlah bahwa iman itu berkurang hingga tidak bersisa sedikitpun.”
Pembenaran adanya ar-ru’yah, yakni melihat wajah Allah setelah meninggal.
Segala yang disebutkan dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits semisal firman Allah Ta’âlâ,
“Dan kaum Yahudi berkata bahwa tangan Allah terbelenggu, padahal sesungguhnya tangan merekalah yang terbelenggu ….” [Al-Mâ`idah:
Sebagaimana di dalam firman Allah,
“Dan tujuh langit digenggam dalam tangan kanan-Nya ….” [Az-Zumar: 67]
Ayat-ayat semisal ini, yang banyak terdapat di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, tidaklah kita tambah, tidak (pula) kita tafsirkan. Kita berhenti pada apa-apa yang Al-Qur`an dan Sunnah berhenti di atasnya.
Kita menegaskan (firman Allah Ta’âlâ),
“Ar- Rahmân (Allah) istiwa’ di atas ‘Arsy.” [Thâhâ: 5]
Barangsiapa yang menyangka selain ini, ia adalah seorang ahlut ta’thîl lagi pengikut sekte Jahmiyah.
Kami tidak berpendapat sebagaimana pendapat kalangan sekte Khawârij bahwa barangsiapa yang tergelincir ke dalam dosa besar, ia telah kafir.
Tidaklah kita mengafirkan seseorang karena salah satu di antara perbuatan dosa.
Namun, kekafiran hanyalah bagi seseorang yang meninggalkan lima sendi utama, yang Rasulullah SAW bersabda,
“Islam didirikan diatas lima sendi: syahadat (persaksian) bahwa Tiada Ilah (sembahan yang benar) selain Allah, Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji.”
Adapun tiga sendi pertama, orang yang meninggalkannya tidaklah diajak berdebat, yaitu yang tidak mengucapkan syahadat, tidak mendirikan shalat, dan tidak berpuasa, karena hal ini tidaklah dapat diakhirkan dari waktunya. Ia tidak dibenarkan mengqadha hal tersebut setelah meninggalkan hal itu dengan sengaja karena sikap ia yang melampaui batas terhadap amalan ini dari waktunya yang telah ditentukan.
Adapun mengeluarkan zakat, tatkala telah mengeluarkan (zakat), hal itu telah cukup baginya, tetapi ia akan berdosa jika menolak mengeluarkan zakat.
Adapun haji, barangsiapa yang telah wajib (menunaikan haji) dan mendapat kemudahan untuk melaksanakan (ibadah) itu, dia wajib menunaikan (ibadah) tersebut. Tidaklah haji ini diwajibkan secara keseluruhan, kecuali setelah menjadi wajib untuknya. Apabila telah menunaikan (ibadah haji), ia telah melakukan kewajiban itu. Tidaklah ia berdosa karena mengakhirkan (pelaksanaan haji) itu jika telah ia tunaikan sebagaimana ia akan berdosa jika melakukan hal tersebut pada zakat karena zakat adalah kewajiban yang (hasilnya) diperuntukkan kepada kaum muslimin yang miskin yang ia tahan untuk mereka maka ia berdosa hingga kewajiban itu telah sampai kepada mereka.
Adapun haji, (ibadah) itu adalah kewajiban antara ia dan Rabb-nya. Jika telah menunaikan (ibadah haji), berarti ia telah melaksanakan kewajibannya.
Sekiranya ia meninggal dalam keadaan mendapatkan kemudahan dan sanggup, tetapi ia tidak melaksanakan ibadah haji itu, ia akan memohon agar dikembalikan ke dunia guna menunaikan ibadah haji yang telah ia lalaikan. Keluarganya wajib menghajikannya, yang semoga hal itu dapat menutupi ibadah haji yang seharusnya ia tunaikan sebagaimana halnya jika ia berutang lalu (utang tersebut) dibayarkan oleh keluarganya setelah ia meninggal.
sumber zdulqarnain.net
0 comments:
Post a Comment
Komentarnya sangat diharapkan, Terima kasih