Salah Satu Jalan Pintas Ke Surga, Menjauhi Egoisme dan Rela Berkorban
Oleh : Ust. Haidar Bagir
Apa yang menyebabkan kita dekat dengan Allah Swt? Jawabannya adalah kebebasan dari egoisme. Sebaliknya, jika kita membesar-besarkan ego, maka kita makin jauh dari Allah Swt. Itulah yang disebut syirik : menjadikan (kepentingan) diri kita Tuhan.
Sesungguhnya, Allah Swt ada di dalam hati kita. Allah Swt bersemayam dalam hati setiap manusia. Namun, kehadiran-Nya sering kita tutupi dengan mengumbar nafsu dan egosime. Akibatnya akses kita kepada Allah Swt tertutupi, sehingga kehadiran-Nya itu tidak memberikan dampak pada kualitas kehidupan kita.
Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah Swt tidak menciptakan dua hati di dalam rongga dada manusia. Allah Swt menciptakan satu hati. Jika satu-satunya hati itu dipenuhi dengan yang serba duniawi, dengan mengumbar egoisme, berarti tidak ada tempat bagi Allah Swt di dalamnya. Lebih buruk dari itu, egoisme adalah sumber segala penyakit hati (sombong, hasad, adu domba, bakhil, dll) yang akan memutus hubungan antara manusia dengan Sang Khaliq. Maka tak heran jika para sufi mengatakan, puncak hubungan tertinggi dengan Allah Swt adalah ketika kita mencapai fana. Fana terjadi ketika manusia mampu menaklukkan kedirian/keakuan dan egoisme yang kemudian menyebabkan kita dekat dengan Allah Swt, yang menciptakan kita dan alam semesta.
Bagaimana Mengatasi Egoisme?
Musuh egoisme adalah berkorban dan memberi. Karena memberi berarti mengambil dari yang kita punyai, untuk diserahkan kepada orang lain. Memberi berarti mengurangi suplai bagi pengumbaran nafsu diri. Islam menegaskan bahwa kita tidak akan mencapai kebaikan kecuali kita berinfak atau memberi. Dalam Al-Quran dikatakan, "wa aatal maala ‘ala hubbihi" (dan memberikan harta yang kita cintai). Bukan sekedar berbagi dengan kelebihan harta yang sedikit. Dan itu harus dilakuakn dengan keikhlasan semata-mata demi kebaikan dan keinginan mendapatkan ridha-Nya. Bahkan, kalau masih muncul perasaan eman-eman (sayang pada milik kita yang akan kita berikan), berarti kita belum mencapai tahapan "memberi yang kita cintai".
Seperti direkam dalam al-Qur’an, ketika Rasulullah Saw ditanya, "maa dzaa yunfiquu?" (apa yang mesti diberikan?), Allah Swt mengajarkan agar Rasulullah mengatakan, "al-‘afwu". Al-afwu adalah kelebihan dari kebutuhan kita. Semua kelebihan harta dari kebutuhan kita harus diberikan kepada orang lain.
Seorang Muslim yang baik, dalam al-Qur’an, juga digambarkan sebagai seharusnya memiliki semangat berkorban (iitsar), yaknui mengutamakan orang lain atas diri sendiri. Itu sebabnya, dalam Al-Quran, pun Allah Swt selalu menyandingkan shalat dengan memberi (infak). Shalat, meski disebut ibadah yang palng utama, tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan aktivitas memberi. Dalam perspektif yang lebih dalam, shalat dikategorikan batal jika tidak memberikan dampak sosial. Kisah fenomenal mengenai semangat pengorbanan tergambar dalam diri Nabi Ibrahim alaihis salam. Bayangkan, dalam satu riwayat, umurnya sudah mencapai 80 tahun dan belum dikaruniai anak. Ketika mendapatkan anak, kemudian Allah Swt memerintahkan agar anak yang ditunggu-tunggu kelahirannya itu disembelih. Dan perintah itu pun dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim dengan tanpa keraguan dan, sebaliknya, penuh dengan keikhlasan. Adakah pengorbanan yang lebih besar dari itu? Atas sebab pengorbanan tersebut, Nabi Ibrahim dijadikan sebagai teladan manusia yang "hanif", yaitu manusia yang punya kecenderungan bersatu kepada Allah Swt. Hal ini membuktikan bahwa Nabi Ibrahim tidak hanya mengamalkan tauhid dalam arti literal, tetapi beliau telah mencapai derajat takwa yang tinggi. Dalam Al-Quran disebutkan berkaitan dengan ibadah kurban, "daging dan darah yang kita sembelih tidak akan sampai kepada Allah Swt.” Yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan pelakunya. Terjemahan arti takwa yang paling tepat adalah kesadaran akan Allah Swt di mana pun kita berada, sehingga kita akan selalu berupaya untuk berbuat sesuatu yang menyenangkan Allah Swt.
Manusia sejatinya adalah percikan ruh Allah Swt, yang dibungkus oleh fisik. Fitrah manusia pun, disebut oleh Allah, diciptakan atas model fitrah Alah. Nah, fitrah asasi Allah Swt. adalah cinta. Nabi pernah bersabda, ”Allah adalah cinta.” Dan hakikat cinta adalah semangat memberi dan berkorban. Jadi, pada dasarnya fitrah manusia adalah memberi. Kebahagiaannya terletak pada kesesuaian cara hidupnya dengan fitrah memberi ini, Jika tidak memberi, fitrahnya akan sengsara, dan kebahagiaan akan menjauh darinya. Sebalikna, dengan banyak memberi, kita menjamin kebahagiaan hidup kita sendiri. Sayangnya, fisik yang membungkus ruh kita ini, sering menutupi fitrah itu dengan kecenderungan mengumbar nafsu dan egoisme, dan membuat kita lupa pada fitrah kita tersebut.
Pembungkusan fisik ini juga membuat kita lupa bahwa soul mate kita sesungguhnya adalah Allah Swt. Maka, ketika di dunia ini kita jauh dari Allah Swt, terkadang kita tidak selalu langsung merasakan kesedihan. Khususnya bagi orang-orang yang sudah telanjur tumpul mata-hatinya. Tapi jika kelak kita hidup di alam barzakh – yang di dalamnya daya ruhani kita menguat -- dan cara hidup kita di dunia menjauhkan kita dari dari Allah Swt, maka kesedihan yang mendalam akan muncul. Lebih-lebih ketika kita berada di akhirat, dengan kehidupan yang sepenuhnya bersifat ruhani. Saat itu secara otomatis kita menyadari bahwa kekasih kita sesungguhnya adalah Allah Swt. Mengenai saat itu, Allah Swt mengatakan, "wa hush-shila maa fish-shudur" (dan diungkap semua yang ada di dalam dada). Maka, yang terpenting yang akan diungkap-Nya adalah bahwa kekasih kita itu adalah Allah Swt. Dan ketika itu kita harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Allah Swt jauh dari kita. Itulah sesungguhnya neraka. Sedang surga adalah kedekatan kita padanya, berkat terlatihnya hati kita dari kemenangan perjuangan melawan nafsu dan egoisme. Memang, neraka adalah kondisi dimana manusia dirundung kesedihan yang amat mendalam karena merasa jauh dari Allah Swt dan merasakan dahsyatnya siksa-Nya, sedangkan surga itu dekatnya kita dengan Allah SWT dan kita mendapatkan kenikmatan yang tiada habisnya.
Kesimpulannya, agar kita bisa hidup bahagia di dunia, di alam barzakh dan di akhirat, maka cara praktisnya adalah dengan cara menjaga kedekatan kita dengan Allah Swt. Di dunia akan bahagia, di barzah kita lebih bahagia, dan di akhirat kita akan mendapat kebahagiaan tertinggi karena kita akan terus bersatu dengan kekasih kita, yaitu Allah Swt. Dan satu-satunya jalan agar kita dekat dengan kekasih kita, Allah Swt, adalah dengan memberi dan mengorbankan milik kita bagi orang-orang lain yang membutuhkan uluran tangan kita. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Sumber : mizan.com
0 comments:
Post a Comment
Komentarnya sangat diharapkan, Terima kasih