Wednesday, 19 October 2016

SEJARAH DAKWAH RASULULLAH SAW PERIODE MADINAH


1.    Arti Hijrah dan Tujuan Rasulullah SAW dan Umat Islam Berhijrah
Setidaknya ada dua macam arti hijrah yang harus diketahui umat Islam. Pertama, hijrah berarti meninggalkan semua perbuatan yang dilarang dan dimurkai Allah SWT untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, yang disuruh Allah SWT dan diridai-Nya. Contohnya, semula siswa itu malas mengerjakan salat 5 waktu dan malas belajar. Kemudian dia membuang jauh sifat malasnya itu, sehingga ia menjadi siswa yang berdisiplin dalam salat lima waktu dan rajin dalam menuntut ilmu. Arti hijrah dalam pengertian pertama ini wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam. Rasuluilah SAW bersabda :

Artinya : “Orang berhijrah itu ialah orang yang meninggalkan segala apa yang dilarang Allah SWT” (H. R. Bukhari)

Arti kedua dari hijrah ialah berpindah dari suatu negeri kafir (non-Islam), karena di negeri itu umat Islam selalu mendapat tekanan, ancaman dan kekerasan, sehingga tidak memiliki kebebasan dalam berdakwah dan beribadah. Kemudian umat Islam di negeri kafir itu, berpindah ke negeri Islam agar memperoleh keamanan dan kebebasan dalam berdakwah dan beribadah.
Arti kedua dari hijrah ini pernah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dan umat Islam, yakni berhijrah dari Mekah ke Yatsrib pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijrah, bertepatan dengan tanggal 28 Juni 622 M.
Tujuan hijrahnya Rasulullah SAW dan umat Islam dari Mekah (negeri kafir) ke Yatsrib (negeri Islam) adalah :
-     Menyelamatkan diri dan umat Islam dari tekanan, ancaman, dan kekerasan kaum kafir Quraisy. Bahkan pada waktu Rasulullah SAW meninggalkan rumahnya di Mekah untuk berhijrah ke Yatsrib (Madinah), rumah beliau sudah dikepung oleh kaum kafir Quraisy dengan maksud untuk membunuhnya.
-     Agar memperoleh keamanan dan kebebasan dalam berdakwah serta beribadah, sehingga dapat meningkatkan usaha-usahanva dalam berjihad di jalan Allah SWT, untuk menegakkan dan meninggikan agama-Nya (Islam) (lihat dan pelajari Q.S. An-Nahl, 16: 41-42)

2.    Dakwah Rasulullah SAW Periode Madinah
Dakwah Rasulullah SAW periode Madinah berlangsung selama sepuluh tahun, yakni dari semenjak tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijrah sampai dengan wafatnva Rasulullah SAW tanggal 13 Rabiul Awal tahun ke-11 hijrah.
Materi dakwah yang disampaikan Rasulullah SAW pada periode Madinah, selain ajaran Islam yang terkandung dalam 89 surah Makkiyah dan Hadis periode Mekah, juga ajaran Islam yang rerkandung dalam 25 surah Madaniyah dan hadis periode Madinah. Adapun ajaran Islam periode Mekah sudah dikemukakan dalam Bab 6 semester pertama buku ini. Sedangkan ajaran Islam yang rerkandung pada 25 surah Madaniyah dan hadis periode Madinah, umumnya ajaran Islam tentang masalah sosial kemasyarakatan.
Mengenai objek dakwah Rasulullah SAW pada periode Madinah adalah orang-orang yang sudah masuk Islam dan kalangan Muhajirin dan Ansar. Juga orang-orang yang belum masuk Islam seperti kaum Yahudi penduduk Madinah, para penduduk di luar kota Madinah yang termasuk bangsa Arab, dan yang tidak termasuk bangsa Arab.
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT bukan hanya untuk bangsa Arab tetapi untuk seluruh umat manusia di dunia, Allah SWT berfirman :
Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiyã’, 21: 107)

Dakwah Rasulullab SAW yang ditujukan kepada orang-orang yang sudah masuk Islam (umat Islam) bertujuan agar mereka mengetahui seluruh ajaran Islam baik yang diturunkan di Mekah ataupun yang diturunkan di Madinah, kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka betul-betul menjadi umat yang bertakwa. Selain itu Rasulullah SAW dibantu oleh para sahabatnya melakukan usaha-usaha nyata agar terwujud persaudaraan sesama umat Islam dan terbentuk masyarakar madani di Madinah. Usaha-usaha nyata Rasulullah SAW seperti tersebur akan dibahas pada sub pokok bahasan tentang strategi Rasulullah dalam membentuk masyarakat madani di Madinah.
Mengenai dakwah yang ditujukan kepada orang-orang yang belum masuk Islam bertujuan agar mereka bersedia menerima Islam sebagai agamanya, mempelajari ajaran-ajarannya dan mengamalkannya, sehingga mereka menjadi umat Islam yang senantiasa beriman dan beramal saleh, yang berbahagia di dunia serta sejahtera di akhirat.
Tujuan dakwah Rasulullah SAW yang luhur dan cara penyampaiannya yang terpuji, menyebabkan umat manusia yang belum masuk Islam banyak yang masuk Islam dengan kemauan dan kesadaran sendiri. Namun tidak sedikit pula orang-orang kafir yang tidak bersedia masuk Islam, bahkan mereka berusaha menghalang-halangi orang lain masuk Islam dan juga berusaha melenyapkan agama Islam dan umatnya dari muka bumi. Mereka itu seperti kaum kafir Quraisy penduduk Mekah, kaum Yahudi Madinah, dan sekutu-sekutu mereka.
Setelah ada izin dari Allah SWT untuk berperang, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hajj, 22 : 39 dan Al-Baqarah, 2 : 90, maka kemudian Rasulullah SAW dan para sahabatnya menyusun kekuatan untuk menghadapi peperangan dengan orang kafir yang tidak dapat dihindarkan lagi.
Peperangan-peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para pengikutnya itu tidaklah bertujuan untuk melakukan penjajahan atau meraih harta rampasan perang, tetapi bertujuan untuk :
-      Membela diri kehormatan, dan harta.
-      Menjamin kelancaran dakwah, dan memberi kesempatan kepada mereka yang hendak menganutnya.
-      Untuk memelihara umat Islam agar tidak dihancurkan oleh bala tentara Persia dan Romawi.
Setelah Rasulullah SAW dan para pengikutnya mampu membangun suatu negara yang merdeka dan berdaulat, yang berpusat di Madinah, mereka berusaha menyiarkan dan memasyhurkan agama Islam, bukan saja terhadap para penduduk Jazirah Arabia, tetapi juga ke luar Jazirah Arabia, maka bangsa Romawi dan Persia menjadi cemas dan khawatir kekuasaan mereka akan tersaingi. Oleh karena itu, bangsa Romawi dan bangsa Persia bertekad untuk menumpas dan menghancurkan umat Islam dan agamanya. Untuk menghadapi tekad bangsa Romawi dan Persia tersebut, Rasulullah dan para pengikutnya tidak tinggal diam sehingga terjadi peperangan antara umat Islam dan bangsa Romawi, yaitu pertama Perang Mut’ah pada tahun 8 H, di dekat desa Mut’ah, bagian utara Jazirah Arabia dan kedua Perang Tabuk pada tahun 9 H di kota Tabuk, bagian utara Jazirah Arabia. Sedangkan bangsa Persia selalu mengadakan penyerangan kepada wilayah kekuasaan umat Islam.
Peperangan lainnya yang dilakukan pada masa Rasulullah SAW seperti :
(1)  Perang Badar Al-Kubra, terjadi pada tanggal 17 Ramadan tahun 2 H di sebuah tempat dekat Perigi Badar, yang letaknya antara Mekah dan Madinah. Peperangan ini terjadi antara Rasulullah SAW dan para pengikutnya dengan kaum kafir Quraisy yang telah mengusir kaum Muslimin penduduk Mekah untuk pindah ke Madinah dengan meninggalkan rumah dan harta benda. Mereka masih tetap bertekad untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin di Madinah. Dalam Perang Badar ini kaum Muslimin memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang.
(2)  Perang Ubud, terjadi pada pertengahan Sya’ban tahun 3 H. Pada peperangan ini kaum Muslimin mengalami kekalahan.
(3)  PerangAhzab (Khandaq), terjadi pada bulan Syawal tahun 5 H. Ahzab artinya golongan-golongan, yaitu gabungan kaum kafir Quraisy, kaum Yahudi, Bani Salim, Bani Asad, Gathfan, Bani Murrah, dan Bani Asyja, sehingga berjumlah 10.000 lebih. Pasukan Azhab ini menyerbu Madinah untuk menumpas Islam dan umat Islam. Atas inisiatif dari Salman Al-Farisi, untuk mempertahankan kota Madinah dibuat parit yang dalam dan lebar. Berkat inisiatif itu, kekompakan umat Islam dan pertolongan Allah SWT, dalam perang Ahzab ini umat Islam memperoleh kemenangan.
Pada tahun keenam hijriah Rasulullah SAW dan para pengikutnya umat Islam penduduk Madinah yang berjumlah 1000 orang berangkat menuju Mekah untuk melakukan umrah. Agar kaum kafir Quraisy tidak menduga bahwa kedatangan kaum Muslimin ke Mekah itu untuk memerangi mereka maka jauh sebelum mendekati kota Mekah umat Islam sudah mengenakan pakaian ihram, tidak membawa alat-alat perang, kecuali pedang dalam sarungnya, sekadar untuk menjaga diri di perjalanan.
Rombongan kaum Muslimin tiba di suatu tempat yang bernama ”Al Hudaibiyah”, yang letaknya beberapa kilometer dari kota Mekah, dengan maksud selain untuk beristirahat, juga untuk melihat situasi. Sebenarnya saat itu termasuk bulan yang disucikan oleh bangsa Arab sebelum Islam. Mereka dilarang melakukan peperangan di dalamnya. Namun dalam kenyataannya, kaum kafir Quraisy telah menempatkan sejumlah bala tentara yang cukup besar di perbatasan kota Mekah, siap untuk melakukan peperangan.
Membaca situasi yang demikian, kemudian Rasulullah SAW mengutus sahabat Utsman bin Affan memasuki kota Mekah untuk menemui pimpinan kaum kafir Quraisy dan menjelaskan kepadanya, bahwa kedatangan mereka ke Mekah bukan untuk berperang, tetapi semata-mata untuk melakukan ibadah umrah. Namun kaum kafir Quraisy bersikeras tidak mengizinkan kaum Muslimin memasuki kota Mekah, dengan alasan akan menjatuhkan kewibawaan kaum kaflr Quraisy pada pandangan bangsa Arab.
Sahabat Utsman ditahan oleh kaum kafir Quraisy, bahkan tersiar kabar bahwa beliau telah dibunuh. Menyikapi kabar tersebut kaum Muslimin telah bersepakat mengadakan “sumpah setia” (baiat), untuk berperang melawan kafir Quraisy, sampai meraih kemenangan. Sumpah setia itu disebut “Baiatur Ridwan”.
Untunglab di saat-saat genting seperti itu sahabat Utsman bin Affan muncul, membawa berita akan diadakannya perundingan antara kaum kafir Quraisy dengan kaum Muslimin. Maka terjadilah perundingan antara delegasi kaum kafir Quraisy yang dipimpin oleh Suhail Ibnu Umar dan delegasi umat Islam yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW.
Perundingan tersebut melahirkan kesepakatan antara dua belah pihak, dan melahirkan sebuah perjanjian, yang dikenal dalam sejarah sebagai perjanjian Hudaibiyah (Sulhul Hudaibiyah). Isi perjanjian itu sebagai berikut :
(1)  Selama sepuluh tahun diberlakukan gencatan senjata antara kaum Quraisy penduduk Mekah dan umat Islam penduduk Madinah.
(2)  Orang Islam dari kaum Quraisy yang datang kepada umat Islam, tanpa seizin walinya hendaklah ditolak oleh umat Islam.
(3)  Kaum Quraisy tidak akan menolak orang-orang Islam yang kembali dan bergabung dengan mereka.
(4)  Tiap kabilah yang ingin masuk dalam persekutuan dengan kaum Quraisy, atau dengan kaum Muslimin dibolehkan dan tidak akan mendapat rintangan.
(5)  Kaum Muslimin tidak jadi mengerjakan umrah saat itu, mereka harus kembali ke Madinah, dan boleh mengerjakan umrah di tahun berikutnya, dengan persyaratan :
    Kaum Muslimin memasuki kota Mekah setelah penduduknya untuk sementara keluar dari kota Mekah.
    Kaum Muslimin memasuki kota Mekah, tidak boleh membawa senjata.
    Kaum Muslimin tidak boleh berada di dalam kota Mekah lebih dari tiga hari-tiga malam.
Kaum kafir Quraisy mengetahui, bahwa perjanjian Hudaibiyah itu sangat menguntungkan kaum Muslimin. Umat Islam semakin kuat, karena hampir seluruh semenanjung Arab, termasuk suku-suku bangsa Arab yang paling selatan telah menggabungkan diri kepada Islam. Kaum kafir Quraisy merasa terpojok, dan mereka secara sepihak berniat membatalkan perjanjian Hudaibiyah itu, dengan cara menyerang Bani Khuza’ah yang berada di bawah perlindungan Islam. Sejumlah orang dari Bani Khuza’ah mereka bunuh dan selebihnya mereka cerai-beraikan. Bani Khuza’ah segera mengadu kepada Rasulullah SAW dan mohon keadilan.
Mendapat pengaduan seperti itu kemudian Nabi Muhammad SAW dengan sepuluh ribu bala tentaranya berangkat menuju kota Mekah untuk membebaskan kota Mekah dari para penguasa kafir yang zalim, yang telah melakukan pembunuhan secara kejam terhadap umat Islam dan Bani Khuza’ah.
Rasulullah SAW sebenarnya tidak menginginkan terjadinya peperangan, yang sudah tentu akan menelan banyak korban jiwa. Untuk itu Rasulullah SAW dan bala tentaranya berkemah di pinggiran kota Mekah dengan maksud agar kaum kafir Quraisy melihat sendiri, kekuatan besar dan bala tentara kaum Muslimin.
Taktik Rasulullah SAW seperti itu ternyara berhasil, sehingga dua orang pemimpin Quraisy yaitu Abbas (paman Nabi SAW) dan Abu Sufyan (seorang bangsawan Quraisy yang lahir tahun 567 M dan wafar tahun 652 M) datang menemui Rasulullah SAW dan menyatakan diri masuk Islam.
Dengan masuk Islamnya kedua orang pemimpin kaum kafir Quraisy itu, Rasulullah SAW dan bala tentaranya dapat memasuki kota Mckah dengan aman dan membebaskan koba itu dari para penguasa kaum kafir Quraisy yang zalim. Pembebasan kota Mekah ini terjadi pada tahun 8 H secara damai tanpa adanya pertumpahan darah.
Bahkan setelah itu, kaum Quraisy berbondong-bondong menyatakan diri masuk Islam, menerima ajakan Rasulullah dengan kerelaan hati. Kernudian bersama-sama bala tentara Islam mereka membersihkan Ka’bah dan berhala-berhala dan menghancurkan berhala-berhala itu.
Kaum Muslimin masih menghadapi kaum musyrikin, yang semula bersekutu dengan kaum kafir Quraisy yang telah masuk Islam itu, yaitu ; Bani Saqif, Bani Hawazin, Bani Nasr, dan Bani Jusyam. Kaum musyrikin tersebut bersatu di bawah pimpinan Malik bin Auf (Bani Nasr) berangkat menuju Mekah untuk menyerbu kaum Muslimin, yang telah menghancurkan berhala-berhala yang mereka sembah.
Mendengar berita bahwa kaum musyrikin itu akan menyerang umat Islam di Mekah, maka Rasulullah SAW memimpin bala tentaranya sebanyak 12000 orang menuju ke lembah Hunain tempat kaum musyrikin berkemah. Maka terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Islam dan pasukan musyrikin, yang berakhir dengan kemenangan di pihak Islam. Perang Hunain ini terjadi dua minggu setelah peristiwa pembebasan kota Mekah.
Sisa pasukan musyrikin melarikan diri ke Thaif. Rasulullab SAW dan bala tentaranya mengejar mereka sampai ke Thaif, lalu mengadakan pengepungan selama beberapa hari lamanya sehingga pemimpin mereka Malik bin Auf dengan seluruh pasukan gabungannya, yaitu: Bani Saqif, Bani Hawazim, Bani Nasr, dan Bani Jusyam menyatakan masuk Islam.
Pada tabun ke-9 dan 10 H berbagai kabilah bangsa Arab seperti Bani Tamim, Bani Amr, Bani Sa’ad Ibnu Bakr, dan Bani Abdul Haris datang ke Madinah menghadap Rasulullah SAW untuk menyatakan dukungannya.
Dengan demikian seluruh Jazirah Arabia telah masuk Islam, dan masuk wilayah pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah. Rasulullab SAW dan umat Islam memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang (lihat dan pelajari Q.S. An - Nasr, 110: 1-3).

3.    Dakwah Islamiah Keluar Jazirah Arabia
Rasulullah SAW menyeru umat manusia di luar Jazirah Arabia agar memeluk agama Islam, dengan jalan mengirim utusan untuk menyampaikan surat dakwah Rasulullah SAW kepada para penguasa atau para pembesar mereka.
Para penguasa atau para pembesar negara yang dikirimi surat dakwah Rasulullab SAW itu  seperti :
1.    Heraclius, Kaisar Romawi Timur
Yang menenima surat dakwah Rasulullah, melalui utusannya Dihijah bin Khalifah. Heraclius tidak menenima seruan dakwah Rasulullab SAW karena tidak mendapat persetujuan dari para pembesar negara dan pendeta. Namun surat dakwah itu dibalasnya dengan tutur kata sopan,disamping mengirimkan hadiah untuk Rasulullab SAW
2.    Muqauqis, Gubernur Romawi di Mesir
Rasulullah SAW mengirim surat dakwah kepada Muqauqis melalui utusannya yang bernama Hatib. Setelah surat itu dibaca Muqauqis belum bisa menerima seruan untuk masuk Islam, namun dia menyampaikan surat balasan kepada Rasulullah SAW dan mengirim hadiah-hadiah berupa seorang budak wanita, kuda, keledai, dan pakaian-pakaian.
3.    Syahinsyah, Kaisar Persia
Syahinsyah adalah penguasa yang lalim dan sombong. Karena kesombongannya surat dakwah Rasulullah SAW itu dirobek-robeknya. Merigetahui surat dakwah itu dirobek-robek, Rasulullah menjelaskan bahwa Syahin yang sombong itu akan dibunuh oleh anaknya sendiri pada malam Selasa tanggal 10 Jumadil Awal tahun ke-7 hijrah. Apa yang diucapkan Rasulullah SAW ternyata sesuai dengan kenyataan. Syahinsyah dibunuh oleh anaknya sendiri Asv-Syirwaih karena kelalimannya.
Kemudian surat dakwah Rasulullah SAW dikirimkan pula kepada An-Najasyi (Raja Ethiopia), Al-Munzir bin Sawi (Raja Bahrain), Hudzah bin Ali (Raja Yamanah), dan Al-Haris (Gubernur Romawi di Syam). Di antara penguasa-penguasa tersebut yang menerima seruan dakwah Rasulullah, hanyalah Al-Munzir bin Sawi penguasa Bahrain yang menyatakan masuk Islam dan mengajak para pembesar negara dan rakyatnya agar masuk Islam.

B.    STRATEGI DAKWAH RASULULLAH SAW PERIODE MADINAH
Pokok-pokok pikiran yang dijadikan strategi dakwah Rasulullah SAW periode Madinah adalah :
1.   Berdakwah dimulai dan diri sendiri, maksudnya sebelum mengajak orang lain meyakini kebenaran Islam dan mengamalkan ajarannya, maka terlebih dahulu orang yang berdakwah itu harus meyakini kebenaran Islam dan mengamalkan ajarannya.
2.   Cara (metode) melaksanakan dakwah sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam Surah An-Nahl, 16: 125. (Coba kalian cari dan pelajari!)
3.   Berdakwah itu hukumnya wajib bagi Rasulullah SAW dan umatnya. Dalil wajibnya: Al-Qur’an Surah Ali ‘Imrãn, 3: 104, dan Hadis Rasulullah SAW:

Artinya: “Sampaikanlah, apa yang berasal dariku (tentang Islam), walaupun hanya satu ayat.“ (H.R. Bukhari)
4.   Berdakwah dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah SWT semata, bukan dengan niat untuk memperoleh popularitas dan keuntungan yang bersifat materi.
Umat Islam dalam melaksanakan tugas dakwahnya, selain harus menerapkan pokok-pokok pikiran yang dijadikan sebagai strategi dakwah Rasulullah SAW, juga hendaknya meneladani strategi Rasulullah SAW dalam membentuk masyarakat Islam atau masyarakat madani di Madinah.
Masyarakat Islam atau masyarakat madani adalah masyarakat yang menerapkan ajaran Islam pada seluruh aspek kehidupan sehingga terwujud kehidupan bermasyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun gafur, yakni masyarakat yang baik, aman, tenteram, damai, adil, dan makmur di bawah naungan rida Allah SWT dan ampunan-Nya.
Usaha-usaha Rasulullah SAW dalam mewujudkan masyarakat Islam seperti tersebut adalah :
a.    Membangun Masjid
Masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah ialah Masjid Quba, yang berjarak ± 5 km, sebelah barat daya Madinah. Masjid Quba ini dibangun pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijrah (20 September 622 M).
Setelah Rasulullah SAW menetap di Madinah, pada setiap hari Sabtu, beliau mengunjungi Masjid Quba untuk salat berjamaah dan menyampaikan dakwah Islam.
Masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya ada Masjid Nabawi di Madinah. Masjid ini dibangun secara gotong royong oleh kaum: Muhajirin dan Anshor, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan peletakan batu kedua, ketiga, keempat, dan kelima dilaksanakan oleh para sahabat terkemuka yakni : Abu Bakar r.a., Umar bin Khattab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abu Thalib k.w.
Mengenai fungsi atau peranan masjid pada masa Rasulullah SAW adalah sebagai berikut :
Ø  Masjid sebagai sarana pembinaan umat Islam di bidang akidah, ibadah, dan akhlak.
Ø  Masjid merupakan sarana ibadah, khususnya salat lima waktu, salat Jumat Tarawih, salat Idul Fitri, dan Idul Adha. (Lihat Q.S. Al-Jinn, 72 : 18 !).
Ø  Masjid merupakan tempat belajar dan mengajar tentang agama Islam bersumber kepada A1-Qur’an dan Hadis.
Ø  Menjadikan masjid sebagai sarana kegiatan sosial. Misalnya sebagai tempat penampungan zakat, infak, dan sedekah dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya, terutama para fakir miskin dan anak-anak yatim terlantar.
Ø  Masjid sebagai tempat pertemuan untuk menjalin hubungan persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiah) demi terwujudnya persatuan.
Ø  Menjadikan halaman masjid dengan memasang tenda, sebagai tempat pengobatan para penderita sakit, terutama para pejuang Islam yang menderita luka ikibat perang melawan orang-orang kafir. Sejarah mencatat adanya seorang perawat wanita terkenal pada masa Rasulullah SAW yang bernama “Rafidah”.
Ø  Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai tempat bermusyawarah dengan para sahahatnya. Masalah-masalah yang dimusyawarahkan antara lain ; usaha usaha untuk mengatasi kesulitan, usaha-usaha untuk memajukan umat Islam, dan strategi peperangan melawan musuh-musuh Islam agar memperoleh kemenangan,
b.    Mempersaudarakan antara Kaum Muhajirin dan Ansar
Muhajirin adalah para sahahat Rasulullah SAW penduduk Mekah yang berhijrah ke Madinah. Ansar adalah para sahabat Rasulullah SAW penduduk asli Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin.
Rasulullah SAW bermusyawarah dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khattab r.a. mempersaudarakan antara Muhajirin dan Ansar, sehingga terwujud persatuan yang tangguh. Hasil musyawarah memutuskan agar setiap orang Muhajirin mencari dan mengangkat seorang dari kalangan Ansar menjadi saudaranya senasab (seketurunan), dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Demikian juga sebaliknya orang Ansar.
Rasulullah SAW memberi contoh dengan mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya. Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dicontoh oleh seluruh sahahatnya misalnya :
Ø  Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasuluhlah SAW, pahlawan Islam yang pemberani bersaudara dengan Zaid bin Haritsah, mantan hamba sahaya, yang kemudian dijadikan anak angkat Rasulullah SAW.
Ø  Abu Bakar Ash-Shiddiq, bersaudara dengan Kharizah bin Zaid.
Ø  Umar bin Khattab bersaudara dengan Itban bin Malik Al Khazraji (Ansar).
Ø  Utsman bin Affan bersaudara dengan Aus bin Tsabit.
Ø  Abdurrahman bin Auf bersaudara dengan Sa’ad bin Rabi (Ansar).
Demikianlah seterusnya setiap orang Muhajirin dan orang Ansar, termasuk Muhajirin setelah hijrahnya Rasulullah SAW dipersaudarakan secara sepasang-sepasang, layaknya seperti saudara senasab.
Persaudaraan secara sepasang-sepasangseperti rersebut, ternyata membuahkan hasil sesama Muhajirin dan Ansar terjalin hubungan persaudaraan yang lebih baik. Mereka saling mencintai, saling menyayangi, hormat-menghormati, dan tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
Kaum Ansar dengan ikhlas memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin berupa tempat tinggal, sandang pangan, dan lain-lain yang diperlukan. Namun kaum Muhajirin juga tidak diam berpangku tangan, mereka berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah agar dapat hidup mandiri. Misalnya Abdurrahman bin Auf menjadi pedagang, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abu Thalib menjadi petani kurma.
Kaum Muhajirin yang belum mempunyai tempat tinggal dan mata pencaharian oleh Rasulullah SAW ditempatkan di bagian Masjid Nabawi yang beratap yang disebut Suffa dan mereka dinamakan Ahlus Suffa (penghuni Suffa). Kebutuhan-kebutuhan mereka dicukupi oleh kaum Muhajirin dan Ansar secara bergotong-royong. Kegiatan Ahlus Suffa itu antara lain mempelajari dan menghafal Al-Qur’an dan Hadis, kemudian diajarkannya kepada yang lain. Sedangkan apabila terjadi perang antara kaum Muslimin dengan kaum kafir, mereka ikut berperang.

c.    Perjanjian Bantu-Membantu antara Umat Islam dan Umat Non-Islam
Pada waktu Rasulullah SAW menetap di Madinah, penduduknya terdiri dari tiga golongan, yaitu umat Islam, umat Yahudi (Bani Qainuqa, Bani Nazir dan Bani Quraizah), dan orang-orang Arab yang belum masuk Islam.
Rasulullah SAW membuat perjanjian dengan penduduk Madinah non-Islam dan tertuang dalam Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah itu antara lain:
(1)  Setiap golongan dari ketiga golongan penduduk Madinah memiliki hak pribadi, keagamaan dan politik. Sehubungan dengan itu setiap golongan penduduk Madinah berhak menjatuhkan hukuman kepada orang yang membuat kerusakan dan memberi keamanan kepada orang yang mematuhi peraturan.
 (2) Setiap individu penduduk Madinah mendapat jaminan kebebebasan beragama.
(3)  Seluruh penduduk Madinah yang terdiri dan kaum Muslimin, kaum Yahudi, dan orang-orang Arab yang belum masuk Islam sesama mereka hendaknya saling membantu dalam bidang moril dan materil. Apabila madinah diserang musuh, maka seluruh penduduk Madinah harus bantu-membantu dalam mempertahankan kota Madinah.
(4)  Rasulullah SAW adalah pemimpin seluruh penduduk Madinah. Segala perkara dan perselisihan besar yang terjadi di Madinah harus diajukan kepada Rasulullah SAW untuk diadili sebagaimana mestinya.

d.    Meletakkan Dasar-dasar Politik, Ekonomi, dan Sosial yan Islami demi Terwujudnya Masyarakat Madani
Islam tidak hanya mengajarkan bidang akidah dan ibadah, tetapi mengajarkan juga bidang politik, ekonomi, dan sosial, yang kesemuanya bersumber pada Al Qur’an dan Hadis.
Pada masa Rasulullah, penduduk Madinah mayoritas sudah beragama Islam, sehingga masyarakat Islam sudah terbentuk, maka adanya pemerintahan Islam merupakan keharusan. Rasulullah SAW selain sebagai seorang nabi dan rasul, juga tampil sebagai seorang kepala negara (khalifah).
Sebagai kepala negara, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar bagi sistem politik islam, yakni musyawarah. Melalui musyawarah, umat Islam dapat mengangkat wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintahan, serta membuat peraturan peraturan yang harus ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan syarat, peraturan peraturan itu tidak menyimpang dan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis (dalil naqlinya lihat QS. An-Nisã’, 4: 59).
Dalam bidang ekonomi Rasulullah SAW telah meletakkan dasar bahwa system ekonomi Islam itu harus dapat menjamin terwujudnya keadilan sosial.
Dalam bidang sosial kemasyarakatan, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar antara lain adanya persamaan derajat di antara semua individu, semua golongan, dan semua bangsa. Sesuatu yang membedakan derajat manusia ialah amal salehnya atau hidupnya yang bermanfaat (lihat Q.S. Al-Hujurat, 49: 13).

Wallahu'alam


sumber : buku PAI kelas X

0 comments:

Post a Comment

Komentarnya sangat diharapkan, Terima kasih