Thursday, 17 November 2011

MENGENAL ISTILAH AHLUSSUNAH WAL JAMA'AH


Istilah Ahlus Sunnah tentu tidak asing bagi kaum muslimin. Bahkan mereka semua mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Tapi siapakah Ahlus Sunnah itu, Dan siapa pula kelompok yang disebut Rasulullah sebagai orang-orang asing?

Telah menjadi ciri perjuangan iblis dan tentara-tentaranya yaitu terus berupaya mengelabu
hi manusia. Yang batil bisa menjadi hak dan sebaliknya, yang hak bisa menjadi batil. Sehingga ahli kebenaran bisa menjadi pelaku maksiat yang harus dimusuhi dan diisolir. Dan sebaliknya, pelaku kemaksiatan bisa menjadi pemilik kebenaran yang harus dibela. Syi’ar pemecah belah ini merupakan ciri khas mereka dan mengganggu perjalanan manusia menuju Allah merupakan tujuan tertinggi mereka.

Tidak ada satupun pintu kecuali akan dilalui iblis dan tentaranya. Dan tidak ada satupun amalan kecuali akan dirusakkannya, minimalnya mengurangi nilai amalan tersebut di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Iblis mengatakan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala:

“Karena Engkau telah menyesatkanku maka aku akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus dan aku akan benar-benar mendatangi mereka dari arah depan dan belakang, dan samping kiri dan samping kanan.”, (QS. Al A’raf : 17 )

Dalam upayanya mengelabui mangsanya, Iblis akan mengatakan bahwa ahli kebenaran itu adalah orang yang harus dijauhi dan dimusuhi, dan kebenaran itu menjadi sesuatu yang harus ditinggalkan, dan dia mengatakan:

“Sehingga Engkau ya Allah menemukan kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS. Al A’raf: 17)

Demikian halnya yang terjadi pada istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Istilah ini lebih melekat pada gambaran orang-orang yang banyak beribadah dan orang-orang yang berpemahaman sufi. Tak cuma itu, semua kelompok yang ada di tengah kaum muslimin juga mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Walhasil, nama Ahlus Sunnah menjadi rebutan orang. Mengapa demikian
, Apakah keistimewaan Ahlus Sunnah sehingga harus diperebutkan? Dan siapakah mereka sesungguhnya. Untuk lebih lengkapnya mari kita simak kajian berikut.
Berikut ini adalah  penjelasan ringkas ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah’ yang pada kenyataan hidup masa kini diperselisihkan oleh umat Islam sehingga mereka berpecah-belah. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai kelompok (dakwah) kentemporer dan jamaah-jamaah yang berbeda-beda. Masing-masing menyeru manusia (umat Islam) kepada golongannya; mengklaim bahwa diri dan golongan merekalah yang paling baik dan benar, sampai-sampai seorang muslim yang masih awam menjadi bingung, kepada siapakah dia belajar Islam dan kepada jamaah mana dia harus ikut bergabung. Bahkan seorang kafirpun yang ingin masuk ke dalam Islam ikut terbawa bingung. Islam manakah yang benar yang harus didengar dan dibacanya; yakni ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang telah diterapkan dan tergambar dalam kehidupan para sahabat Rasulullah yang mulia dan telah menjadi pedoman hidup sejak berabad-abad yang lalu, namun justru ia hanya bisa melihat Islam sebagai sebuah nama besar tanpa arti bagi dirinya.
Begitulah yang pernah dikatakan oleh seorang orientalis tentang Islam: “Islam itu terhambat oleh pemeluknya sendiri”, yakni orang-orang yang mengaku-ngaku muslim tetapi tidak konsisten dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Kami tidak mengatakan bahwa Islam telah hilang seluruhnya, dikarenakan Allah telah menjamin kelanggengan Islam ini dengan keabadian kitab-Nya, sebagaimana Dia telah berfirman:
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Al Qur’an, sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. ( Al Hijr: 9).

Maka, pastilah akan senantiasa ada segolongan kaum muslimin yang akan tetap teguh memegang ajaran dan memelihara serta membelanya sebagaimana difirmankan Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya (dari Islam), maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela”. ( Al Maidah: 54).
Dan firman Allah SWT:
“Ingatlah kamu ini, orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (harta) di jalan Allah, maka di antara kamu ada yang bakhil, barang siapa bakhil berarti dia bakhil pada dirinya sendiri, Allah Maha Kaya dan kamu orang-orang yang membutuhkan-Nya, dan jika kamu berpaling, niscaya Dia  akan menggantikan (kamu) dengan kaum selain kamu  dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)”. (Muhammad: 38).
Golongan atau jamaah yang dimaksud adalah yang disabdakan oleh Rasulullah SAW  dalam haditsnya:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah SWT, sedang mereka tetap dalam keadaan yang demikian”( HR. Imam Al Bukhari dan Imam Muslim)
Penting diketahui bahwa ahlussunnah dan dapat pula diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya ahlussunah adalah ahlul imtitsal (orang-orang yang merealisasikan) dengan sempurna terhadap ajaran Islam akidah dan akhlaknya sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW yang diikuti oleh para sahabat dan generasi setelahnya yang diridhoi-Nya. Dan diantara lemahnya pemahaman adalah menyangka bahwa seorang sunni atau salafy adalah orang yang menganut akidah ahlussunnah tanpa memberikan perhatian terhadap sisi akhlak dan adab-adab islam dan menunaikan hak-hak sesama muslimin diantara mereka. Hal tersebut sesuai dengan hadits berikut :
(( افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَة. قُلْنَا: مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ ))
“Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu galongan, dan telah berpecah kaum Nashrani menjadi tujuh puluh dua golongan, sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kamipun bertanya siapakah yang satu itu, wahai Rasulullah? beliau menjawab: yaitu barangsiapa yang berada pada yang aku dan para shahabatku jalani ini.
(HR. Tirmidzi dan Al-Hakim, hadits ini Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Bertolak dari sinilah kita dan siapa saja yang ingin mengenal Islam yang benar beserta pemeluknya yang setia harus mengenal golongan yang diberkahi ini yang  mewakili  Islam yang benar. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan ini agar kita bisa mencontoh mereka, dan selain itu agar supaya orang kafir yang ingin masuk Islam / yang telah mendapatkan hidayah itupun dapat mengetahui untuk kemudian bisa bergabung kepada golongan Islam yang murni, amien.

PRINSIP DAN PEDOMAN DASAR AHLUSSUNAH

Prinsip keyakinan yang berhubungan dengan tauhid, syari’at dan lain-lain menurut Ahlussunnah wal Jamaah harus dilandasi dengan dalil dan argumentasi yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ ulama, dan Qiyas. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghozali dalam ar-Risalah al-Ladduniyah;

وأهل النظر في هذا العلم  يتمسكون أولا بآيات الله تعالى من القرآن, ثم بأخبار الرسول ثم بالدلائل العقلية والبراهين القياسية.
“Ahli nazhar dalam ilmu akidah ini pertama kali berpegang dengan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul dan terakhir dengan dalil-dalil rasional dan argumentasi analogis”.

A.     Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum fiqh utama dan paling agung, yang merupakan hujjah paling agung antara manusia dan Allah SWT, al-Qur’an juga merupakan tali yang kuat dan tidak akan putus. Allah SWT berfirman:

  وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ (آل عمران: 103)

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai”. (QS. Ali Imran:103)

Al-Qur’an adalah pokok dari semua dalil dan argumentasi. Sebagaimana dalam al-Qur’an:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ. (النساء: 59)

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Hadits).” (QS. An-Nisa’: 59)

B.     Al-Hadits

Hadits adalah dalil kedua dalam penetapan akidah-akidah dalam Islam. Hadits yang dapat dijadikan dasar adalah hadits yang perawinya disepakati dapat dipercaya oleh para ulama.

Hadits Nabi berfungsi untuk menjelaskan hukum-hukum al-Qur’an yang bersifat global dan general. Karena syari’at islam diturunkan secara bertahap untuk menunjukkan kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya. Bentuk kasih sayang tersebut adalah menjelaskan al-Qur’an yang masih global tersebut. Allah berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر: 7)

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Akan tetapi banyaknya hadits palsu yang beredar dimasyarakat sekarang ini maka kita harus waspada karena bisa-bisa hadits palsu itu bila diamalkan mengandung kesesatan (Bid'ah, kemusyrikan, ritual syirik dsb), sebaiknya kita membaca kitab-kitab hadits sahih sebagai rujukan seperti kitab kutubussittah (kitab 6 Imam ahli hadits), karena kitab tersebut isinya adalah insya Alloh sebagian besar hadits-hadits shahih, karena ulama-ulama besar dibidang hadits tersebut telah memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menelaah (memisahkan) antara hadits palsu dengan hadits shahih, begitu besar jasa mereka dalam menyumbangkan ilmu Islam ini, semoga Alloh meridhoi dan merahmati mereka, amien.

C.     Ijma’ Ulama

     Ijma’ adalah konsensus para mujtahid (ahli hadits) sepeninggal Rasulullah SAW dari masa ke masa atas satu hukum. Dalil kehujjahan ijma’ ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW :

إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ. (رواه الترمذي)

“Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan dan pertolongan Allah akan selalu bersama kelompok umat islam. barangsiapa menyendiri maka ia akan masuk neraka.” (HR. Tirmidzi)

D.     Qiyas
Qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah yang sudah jelas ketetapan hukumnya dalam agama yang didasarkan pada illat yang menyatukan dua masalah dalam hukum tersebut. Qiyas yang bisa dibuat hujjah adalah qiyas yang berlandaskan pada nash, ijma’. Allah berfirman:
     فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأَبْصَارِ. (الحشر: 2)

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (QS. Al-Hasyr: 2)

E.      Ta’wil (Tafsir)  dan Permasalahannya.

Dalam al-Qur’an al-Karim Allah SWT telah berfirman:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ. (آل عمران: 7)

“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “kami keriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal”. (QS. Ali Imron; 7)

Sebagian ulama mengatakan bahwa ta’wil ada dua macam:

1.     Hakikat sesuatu dan kejadian yang semestinya.

Contohnya, Dalam firman Allah SWT tentang kisah Nabi Yusuf as:

وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِن قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا
  
“Dan berkata Yusuf: “Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan”. (QS. Yusuf; 100)

Jika yang dikehendaki demikian, maka pada ayat di atas, waqaf-nya adalah pada lafadz jalalah (Allah), sebab tidak ada yang mengerti hakikat ayat mutasyabihat melainkan Allah SWT. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya mengimani ayat tersebut.

2.     Hanya sekedar manafsiri, menjelaskan atau memberi arti yang lebih di nalar (tidak memastikan bahwa artinya adalah demikian), sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:
نَبِّئْنَا بِتَأْوِيلِهِ. (يوسف: 36)
“Berikanlah kepada kami penafsirannya”.(QS. Yusuf; 36).

Maka, waqaf ayat diatas adalah pada “war-raasikhuna fil-‘ilmi”, sebab mereka mengetahui, dan memahami apa yang dikhithabkan pada mereka. Dan sayyidina Ibnu Abbas pernah mengatakan: “Sayalah yang termasuk ar-rasikhuna fil ‘ilmi yang mengerti penta’wilannya”. Pernyataan beliau ini benar, karena Nabi Muhammad SAW pernah berdo’a untuknya:

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ. )رواه البخاري وغيره(.

“Ya Allah, pandaikanlah dia dalam urusan agama, dan ajarkanlah dia ta’wil”. (HR. Bukhari dan lainnya)

Dan do’a Rasulullah SAW  tidak tertolak. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana ta’wil yang dibenarkan?, Ta’wil yang dibenarkan adalah:

صرف اللفظ عن الاحتمال الراجح إلى الاحتمال المرجوح لدلالة توجب ذلك مع موافقة ما دلت عليه نصوص الكتاب والسنة.

“Mengalihkan lafadz dari kemungkinan arti rajih menuju sesuatu kemungkinan arti marjuh karena dalil yang menghendaki demikian serta harus sesuai dengan yang dikehendaki dari nash kitab al-Qur’an dan as-Sunnah”.

Disamping itu perlu dimengerti bahwa: Bila ta’wil dijadikan sebagai akidah, maka itu adalah bid’ah. Namun bila hanya untuk memberikan penjelasan pada orang awam tentang arti yang dapat dinalar atau menolak faham ahli bid’ah yang menyatakan ”ketasybihan” maupun “ketajsiman” dengan ayat-ayat mutasyabihat, maka ta’wil diperkenankan. Sebagaimana hal ini yang dilakukan oleh mutakallimin ahlussunnah dari golongan fuqaha’ dan mutakallimin. Dan mereka tetap mengimani bahwa arti sebenarnya atau hakikatnya hanyalah Allah SWT yang mengetahui. Sebagaimana pada keterangan yang kami nukil dari kitab “as-Salafiyah” karya as-Syaikh Sa’id Ramdlan al-Buthi.

F.      Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Ditinjau dari aspek pengertian, bahwa ayat-ayat al-qur’an terbagi menjadi dua, yaitu ayat-ayat Muhkamat (yang bisa dinalar) dan ayat-ayat Mutasyabihat (yang sukar dinalar).
Allah berfirman:

هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ (آل عمران: 7)

Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Al-Imran Ayat 7)
Ayat tersebut mengecam orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutsayabihat yang hanya untuk bertujuan menimbulkan fitnah. Hal ini biasanya dilakukan oleh kelompok di luar Ahlussunnah wal Jamaah, seperti kelompok musyabbihah dan mujassimah dan mu’tazilah yang mengingkari sifat-sifat Allah SWT. Agar umat Islam khususnya Ahlussunnah terjerumus dalam pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam ayat di atas, Allah SWT menamakan ayat muhkamat dengan sebutan Ummul Kitab karena ayat-ayat muhkamat-lah yang harus menjadi acuan dan rujukan dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat.

BEBERAPA AJARAN-AJARAN AHLUSSUNAH :
Di antara ajaran Ahlussunnah wal Jamaah adalah:
1.    Megimani dan mengamalkan semua yang datang dari Rasulullah saw. Baik yang tercantum di al-Qur’an ataupun di Hadits sebagai bukti dari sikap ‘ubudiyyah pada Allah SWT.
2.    Berkewajiban mengikuti sunah Rasulullah SAW dan menjauhi bid’ah (Ibadah-ibadah baru / perkara baru yang diada-adakan alias Ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya yang dirahmati Allah SWT).
3.    Tidak mencaci maki para Sahabat Nabi, tetapi menghormati dan memintakan ampunan untuk mereka.
4.    Bersedia untuk taqlid pada Ijtihad para Ulama Madzahib dalam berbagai masa’il diniyah fiqhiyyah, disamping mempelajari dalil-dalilnya.
5.    Mengimani ayat-ayat mutasyabihat tanpa berusaha untuk mena’wil yang sampai pada batas mentasybihan maupun penta’thilan (menafikan sifat-sifat Allah).
6.    Meyakini bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah al-Qadim, bukan makhluk dan tidak mengalami perubahan.
7.    Tidak beranggapan bahwa Imamah adalah rukum Iman (seperti kaum syiah), namun sebagai kewajiban/dlarurah ‘aammah demi kemashlahatan ummat untuk menjalankan syari’at Islam.
8.    Mengakui kekhilafan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali).
9.    Mencintai ahlul bait Rasulullah SAW,  tanpa lewat jalur Syi’ah yang dibatasi pada 12 imam dan mengkafir-kafirkan sahabat.
10. Mempercayai bahwa besok di Akhirat orang mu’min dapat melihat Allah SWT sebagaimana dalam firman-firmanNya.   
11. Tidak membenarkan ajaran taqiyyah, yakni melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nurani hanya untuk menipu ummat Islam.
12. Percaya bahwa sebaik-baik kurun/ periode adalah masa Rasulullah SAW dan sahabatnya, setelahnya adalah Tabi’in lalu Tabi’ut Tabi’in .

Dan masih banyak beberapa ajaran Ahlussunnah yang tercantum dalam kitab-kitab salaf.

Wallahu ‘Alam

Sumber Rujukan :
1.      Majalah Assunah
2.      Islamhouse.com

1 comment:

Komentarnya sangat diharapkan, Terima kasih